Rabu, 16 April 2014

Soerabaia, Van Buiten Blink, Van Binen Sting


Pemkot Surabaya boleh saja menetapkan usia kota pahlawan ini 'masih' 720 tahun, namun sebenarnya munculnya kelompok masyarakat di kawasan ini sudah terjadi jauh sebelumnya. Sejarawan Belanda, GH Von Vaber dalam bukunya yang berjudul Oud Soerabaia menuliskan Sejarah Kota Surabaya lahir di tahun 1275.
Kala itu, Raja Singasari, Kertanegara membuka kawasan di sebelah barat Kalimas sebagai tempat permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan yang terjadi pada tahun 1270 M.
Itulah noktah awal terbukanya daerah baru di hilir sungai Brantas yang terus berkembang menjadi kawasan pemukiman. Sebagai daerah pesisir alias coastal area, Surabaya mengalami pertumbuhan yang cepat karena dibarengi dengan aktifitas perekonomian dan transportasi interland yang memadai.
Salah satu fakta sejarahnya adalah dipakainya kawasan ini sebagai salah satu lokasi pendaratan armada Kerajaan Mongol yang memiliki misi utama menghancurkan raja Jawa demi memenuhi ambisinya memperluas kekuasaan Khubilai Khan.
Pemukiman di Surabaya ini terus mengalami pergeseran persebaran, dimana pada awalnya pemukiman di Surabaya ini tersebar di daerah utara Surabaya hingga pada perkembangannya pemukiman terus berkembang ke arah selatan, barat, dan timur Surabaya. 
Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan akan pertahanan, adanya kegiatan perekonomian seperti perdagangan dan politik, terbukanya serta pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal.
Meski menjadi kawasan yang begitu potensial, namun secara politik Surabaya selalu berada pada kekuasaan pihak lain. Setelah Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram. Titik awal perkembangan Kota Surabaya justru ketika VOC berdaulat penuh atas kota ini. 
Itu terjadi sekitar abad ke-18, tepatnya 11 November 1743, setelah ada perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja dari Mataram, yaitu Paku Buwono II yang salah satunya adalah penyerahan Surabaya ke tangan bangsa asing.
Dalam pendudukannya itu, VOC mula-mula membangun loji dan benteng yang terletak di sebelah Utara kota Surabaya lama (sekarang kira-kira berada di daerah kompleks kantor Gubernur Jatim di Jl. Pahlawan). Sedangkan hunian bagi pra prajuritnya disentralisasi di Fort Retranchement yang berada di sekitar benteng tadi.
Fase perkembangan kota terbagi menjadi dua. Diawali dengan terbentuknya Kota Bawah, untuk kemudian disusul dengan Kota Atas. Kota Bawah Surabaya menjadi pusat kegiatan terutama gedung-gedung pemerintahan Belanda di Surabaya. 
Untuk kawasan pemukiman, berdasarkan undang-undang Wijkenstelsel, kota Surabaya dibagi dua. Permukiman pertama adalah kampung orang-orang Eropa yang terletak di barat Jembatan Merah dan Simpang, yang kemudian berkembang ke arah Selatan, Keputran dan sekitarnya.
Kedua adalah permukiman orang-orang Timur Asing (Vreande Oostrelingen), yaitu Tionghoa (Pecinan) dan Arab yang berada di sebelah timurnya. Yakni kawasan Kembang Jepun, Kapasan dan Pasar Atom untuk orang-orang Cina. Sedangkan para imigran dari Arab disentralisasi di sekitar Masjid Ampel. 
Lalu dimana areal pemukiman untuk orang-orang pribumi. Tak ada lokasi khusus untuk para bumiputera di kota pemerintahan dan perdagangan yang baru terbentuk itu. Mereka harus rela tinggal diantara tanah-tanah yang tersisa atau dibalik gedung-gedung milik Eropa dan kaum pendatang asing lainnya dengan kondisi yang sangat kontras dan rawan penyakit.
Karena itulah, muncul sindiran dari orang-orang Belanda yang menggambarkan paradoksnya kondisi pemukiman di Surabaya. Dalam istilah mereka, 'Surabaya van buiten blink, van binen sting'. Artinya kurang lebih Surabaya terlihat indah jika dipandang dari luar namun begitu kumuh di dalamnya. Menyedihkan.*