Ada satu hal yang
begitu membekas di benakku saat diajak nglencer Bagian Humas dan Protokol ke
Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Di akhir acara audiensi yang digelar di ruang
auditoriumnya yang mewah, Sekretaris Badan Infokom Kota Bandung bilang,
“.....belanjakan uang anda sebanyak-banyaknya di Kota Bandung...”
Memang, kawasan kota kembang itu
merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang kerap dikunjungi wisatawan dari
dalam dan luar negeri. Apalagi di akhir pekan, lalu-lintas kota Bandung yang
relatif semrawut kian bertambah ruwet.
Kemacetan terjadi hampir di semua ruas jalan. Terutama di pusat-pusat
keramaian seperti kawasan Dago yang menjadi ajang cangkruk para kawula muda
disana. Di areal seputaran kampus itu penuh dengan cewek-cewek geulis plus
beraneka jenis kuliner khas daerah setempat.
Pun demikian dengan kawasan Jalan Cihampelas dan Cibaduyut sebagai sentra
perdagangan pakaian jadi dan produk industri olahan kulit berbentuk sepatu,
tas, ikan pinggang serta barang semacamnya.
Hari itu benar-benar puncaknya, malam minggu tanggal muda. Mobil pribadi,
kendaraan umum maupun angkutan wisata seakan berebut ruang dengan pedagang kaki
lima yang hampir semuanya sibuk bertransaksi dengan para pembeli. Keriuhan yang
sudah berbatas tipis dengan kesimpang-siuran itu seakan menjadi irama
penghentak yang menambah asyik suasana bagi para penggila wisata belanja.
Meski terlibat di dalamnya, namun
sayangnya aku tak serta-merta terlarut dalam kemeriahan itu. Padahal aku sudah
berusaha keras untuk menikmatinya. Tapi tetap saja logikaku berlarian di
habitat yang kuciptakan sendiri di alam pikiranku.
“Apa yang istimewa disini.
Barang-barang yang dijual hampir semuanya tersedia di Sidoarjo. Kalaupun tak
ada, aku hanya perlu sedikit tambahan energi untuk mencarinya di Surabaya. Pasti
ada, minimal corak ataupun modelnya,” ego primordialku memberontak.
Soal harga juga kurasa tak terlalu
spesial. Bahkan bisa jadi aku bakal mendapatkan barang sejenis dengan nilai
rupiah yang lebih murah tanpa harus jauh-jauh perlu ke ujung lain pulau Jawa
berjarak 689 km dari kotaku sendiri. Yang mengherankan orang-orang itu bahkan
aku sendiri sampai sempat tersihir hingga tersedot dalam kumparan bermedan
magnet dasyat itu.
Akhirnya kutemukan juga jawaban
setelah sekian lama bergelut dengan logikaku. Ini semua hanyalah efek sebuah
pencitraan yang sukses digarap oleh pihak-pihak yang berkepentingan disana
hingga mereka bisa mengubah kesan biasa menjadi begitu luar biasa.
Saking istimewanya sampai-sampai
seorang bupati Sidoarjo ngiler dan mengajak para bawahan serta koleganya
membelanjakan duit ratusan juta rupiah yang konon sebagian diantaranya adalah
milik warga kota Delta di Paris Van Java.
(termuat di
Tabloid Headline)