Jumat, 21 Februari 2014

SIHIR PARIS VAN JAVA

Ada satu hal yang begitu membekas di benakku saat diajak nglencer Bagian Humas dan Protokol ke Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Di akhir acara audiensi yang digelar di ruang auditoriumnya yang mewah, Sekretaris Badan Infokom Kota Bandung bilang, “.....belanjakan uang anda sebanyak-banyaknya di Kota Bandung...”
            Memang, kawasan kota kembang itu merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang kerap dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Apalagi di akhir pekan, lalu-lintas kota Bandung yang relatif semrawut kian bertambah ruwet.
Kemacetan terjadi hampir di semua ruas jalan. Terutama di pusat-pusat keramaian seperti kawasan Dago yang menjadi ajang cangkruk para kawula muda disana. Di areal seputaran kampus itu penuh dengan cewek-cewek geulis plus beraneka jenis kuliner khas daerah setempat.
Pun demikian dengan kawasan Jalan Cihampelas dan Cibaduyut sebagai sentra perdagangan pakaian jadi dan produk industri olahan kulit berbentuk sepatu, tas, ikan pinggang serta barang semacamnya.
Hari itu benar-benar puncaknya, malam minggu tanggal muda. Mobil pribadi, kendaraan umum maupun angkutan wisata seakan berebut ruang dengan pedagang kaki lima yang hampir semuanya sibuk bertransaksi dengan para pembeli. Keriuhan yang sudah berbatas tipis dengan kesimpang-siuran itu seakan menjadi irama penghentak yang menambah asyik suasana bagi para penggila wisata belanja.
            Meski terlibat di dalamnya, namun sayangnya aku tak serta-merta terlarut dalam kemeriahan itu. Padahal aku sudah berusaha keras untuk menikmatinya. Tapi tetap saja logikaku berlarian di habitat yang kuciptakan sendiri di alam pikiranku.
            “Apa yang istimewa disini. Barang-barang yang dijual hampir semuanya tersedia di Sidoarjo. Kalaupun tak ada, aku hanya perlu sedikit tambahan energi untuk mencarinya di Surabaya. Pasti ada, minimal corak ataupun modelnya,” ego primordialku memberontak.
            Soal harga juga kurasa tak terlalu spesial. Bahkan bisa jadi aku bakal mendapatkan barang sejenis dengan nilai rupiah yang lebih murah tanpa harus jauh-jauh perlu ke ujung lain pulau Jawa berjarak 689 km dari kotaku sendiri. Yang mengherankan orang-orang itu bahkan aku sendiri sampai sempat tersihir hingga tersedot dalam kumparan bermedan magnet dasyat itu.
            Akhirnya kutemukan juga jawaban setelah sekian lama bergelut dengan logikaku. Ini semua hanyalah efek sebuah pencitraan yang sukses digarap oleh pihak-pihak yang berkepentingan disana hingga mereka bisa mengubah kesan biasa menjadi begitu luar biasa.
            Saking istimewanya sampai-sampai seorang bupati Sidoarjo ngiler dan mengajak para bawahan serta koleganya membelanjakan duit ratusan juta rupiah yang konon sebagian diantaranya adalah milik warga kota Delta di Paris Van Java.

(termuat di Tabloid Headline)

SEMUA DEMI APBN, BUKAN DEMI RAKYAT

Aku tertarik dengan pernyataan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Saat itu ia meminta para pengusaha nasional untuk tidak mem-PHK karyawannya meski biaya produksi semakin tinggi akibat kenaikan BBM.
            Bahkan ia meminta para pengusaha untuk memberikan tunjangan uang makan plus kenaikan insentif bagi karyawannya demi mempertahankan daya belinya di tengah melambungnya harga berbagai komoditas perdagangan.
            Lalu sang Wapres membagikan ilmunya pada para pengusaha itu. Ia bilang kenaikan ongkos produksi itu harus diimbangi dengan penghematan yang menyeluruh. Biaya-biaya yang tak penting harus dipangkas. Demikian pula dengan rencana pembiayaan yang tidak termasuk prioritas utama juga bisa dikesampingkan.
            Pernyataan yang hampir serupa juga pernah disampaikan sang Presiden SBY. Ia malah menghimbau pusat-pusat pembelanjaan untuk mengurangi jam operasionalnya demi menghemat penggunaan energi listrik.
            Banyak sudah tips-tips sekaligus trik-trik yang diajarkan duet pimpinan bangsa itu pada rakyatnya agar mereka mampu bertahan dalam menghadapi multi krisis yang menghantam negeri nusantara ini.
            Namun aku jadi geli ketika melihat kelakuan pemerintah yang tak bisa memberikan contoh nyata dari segala nasehatnya tadi. Soal penggunaan energi listrik tadi, misalnya.
            Sudah jamak diketahui publik jika lembaga pemerintah merupakan konsumen PLN yang paling boros menggunakan  energi listrik. Contoh saja, hampir semua ruang kerja di kantor-kantor pemerintah menggunakan AC yang terus dibiarkan menyala di jam-jam istirahat. Belum lagi dengan lampu ruangan yang terus benderang sepanjang siang. 
            Ini masih belum seberapa. Di jam-jam kerja, para staf kantor pemerintahan lebih suka menggunakan komputer di ruangannya untuk bermain game. Hal ini terjadi lantaran lebih banyaknya tenaga kerja ketimbang beban garapan yang harus dikerjakan.
            Pun demikian dengan penggunaan BBM untuk kendaraan dinas. Tak ada sama sekali kebijakan untuk berhemat. Misalnya penggunaan mobil bersama. Yang terjadi justru munculnya anggaran untuk pembelian mobil-mobil baru ber-CC besar bagi para pejabat tinggi di pusat maupun daerah.
            Badai krisis yang menimpa negeri ini lantaran lonjakan harga minyak dunia hanya menimpa rakyat. Sedangkan pemerintah sama sekali tak merasakannya. Paling-paling mereka hanya dipusingkan mengatur alokasi anggaran negara maupun daerah agar tetap cukup untuk membiayai rencana kerja mereka.
            Seperti dikatakan SBY beberapa waktu lalu. Ia bilang keputusan menaikkan harga BBM itu semata-mata demi menyelamatkan APBN agar tak terus mengalami pendarahan akibat njomplangnya patokan harga minyak.
           Karena itu iapun memilih alternatif terakhir itu dengan patokan angka maksimal, 30 %. Karena dengan begitu APBN bukan saja terhindar dari hantu defisit namun justru surplus hingga bisa dipakai untuk memberi rakyat miskin sedekah bernama BLT.
            Sekarang pemerintah bisa tenang. Menarik nafas panjang penuh kelegaan karena APBN telah terselamatkan. Soal kesulitan rakyat, cukup BLT saja yang jadi solusi utamanya.
            Kalau rakyat benar-benar telah terbuai dan sibuk berebut uang seratus ribuan per bulan, itu berarti misi telah sukses dijalankan. Namun kalau sampai muncul gejolak, anggap saja sebagai masa bermain bagi institusi kepolisian agar mereka bisa menguji kekuatan otot-ototnya dengan melawan tulang rakyat.
            Gini kok bilang bangkit, merdeka atau segala bunyi jargon heroik lainnya. Nggedabrus!!!.

(Termuat di Tabloid Headline)

IR SOEKARNO, SATRIA DI KUBU KURAWA

Dalam epik Mahabarata disebutkan tentang seorang satria bernama Basukarna. Sebenarnya ia adalah anggota wangsa Barata. Anak Dewi Kunti, ibu para Pandawa. Tapi karena lahir dengan proses dan cara yang tidak wajar, Karna pun dibuang ke sungai oleh ibunya.
            Alkisah ia ditemukan oleh seorang kusir istana dan diasuh hingga tumbuh menjadi pemuda yang berbudi luhur, berperilaku santun dan gagah perkasa karena memiliki kemampuan perang serta kesaktian yang luar biasa.
            Sayang, statusnya sebagai anak rakyat jelata membuat Karna tak bisa menunjukkan kedigdayaannya dihadapan para satria dan raja. Untungnya, raja Hastinapura yang juga putra tertua kaum Kurawa, Duryudana mengetahui potensi besar Basukarna.
            Iapun diangkat sebagai raja di sebuah negara kecil jajahan Hastinapura. Dengan status barunya itu, kastanya pun terdongkrak ke ujung tertinggi. Begitu juga dengan tiap sendi kehidupannya yang lain.
            Hal itulah yang membuat Basukarna begitu hormat dan memberikan pengabdian tanpa batas pada Duryudana yang dianggapnya begitu berjasa terhadap hidupnya. Bahkan iapun rela dikorbankan saat diperintah melawan Arjuna, adik kandungnya yang dikenal memiliki kesaktian tanpa tanding dalam perang Baratayudha.
            Basukarna mati di medan perang lantaran membela harga diri junjungannya, Duryudana. Padahal Duryudana adalah simbol keangkaramurkaan di dunia saat itu. Dan nama Basukarna yang berbudi luhur itu terpaksa harus tercatat sebagai bagian dari kejahatan itu.
            Direktur PT SM 2002, Ir Soekarno bisa jadi adalah gambaran dari Basukarna di jaman modern, di sebuah tempat bernama tlatah Jenggala alias Kabupaten Sidoarjo. Ir Soekarno yang kini terpenjara karena dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam kasus penyimpangan di PT SM 2002.
            Banyak PNS maupun pejabat di lingkungan Pemkab Sidoarjo yang mengelus dada saat nama Ir Soekarno disebut-sebut oleh kejaksaan, apalagi ketika ia digelandang masuk ke dalam jeruji besi.
            Di mata mereka Soekarno adalah simbol kesederhanaan dan keteladanan seorang pejabat daerah. Karenanya mereka tak percaya begitu saja saat Soekarno dituding telah melakukan perbuatan korupsi.
Walaupun pernah menduduki posisi penting di birokrasi Sidoarjo, menjadi Kepala PU Cipta Karya di jaman bupati Sudjito dan kemudian melambung menjadi Kepala Bappekab saat Win Hendrarso sebagai bupati, namun ia tidak pernah merasakan kehidupan gemerlap ala pejabat.
Selama menjabat di Pemkab, pria bertubuh gempal dan berkumis putih ini tidak pernah sekalipun terlihat menggunakan mobil pribadi. Dia selalu mengendarai mobil plat merah.
“Kalau saja ia mau, saat  di PU Cipta Karya dan Bapekab Pak Karno bisa saja mendapatkan berbagai bentuk kemewahan,” ujar salah seorang PNS yang tak mau disebut namanya..
Kesederhaan sangat terlihat saat menduduki jabatan Kepala Bappekab menggantikan drs Nadhim Amir. Ruang kerja Nadhim di lantai dua kantor itu bagaikan kamar hotel bintang lima. Interiornya klasik, ada ruang istirahat dan ruang rapat.
Namun kamar kerja mewah ini tidak ditempati Soekarno. Dia memilih ruang kerja di lantai satu yang hanya dilengkapi sebuah meja tanpa kamar mandi di dalam ruangan. Saat itu Soekarno mengaku tidak betah berada di ruang kerja yang nyaman tersebut.
Lepas dari Bapekab, Win Hendrarso rupanya masih melihat kemampuan Soekarno. Saat memasuki usia pensiun itu, Ir Soekarno diperintah untuk menjalankan PT SM 2002 yang diimpikan Win Hendrarso.
Awalnya, Ir Soekarno datang ke kantor PT SM 2002 di kompleks perkantoran Pemkab Sidoarjo dengan mengendarai kendaraan umum dari rumahnya di Surabaya. Mobil dinas lamanya sudah ia kembalikan. Namun belakangan, ia dipinjami mobil Kijang tua.
Kini semua pengabdiannya telah berakhir. Namanya dicatat rakyat sebagai seorang koruptor meski pengadilan belum membuat keputusan atas kasus yang menyeretnya itu. Tapi opini publik sudah terlanjur menyebar.
Seorang kepala dinas yang tidak bersedia disebut namanya menggelengkan kepala dan merasa sesak mengetahui nasib yang dialami Soekarno. “Pak Karno itu orangnya tidak kemaruk. Diberi uang yang asal usulnya tidak jelas akan ditolak mentah-mentah. Satu rupiahpun dikembalikan kalau nggak jelas,” katanya.
Kalau begitu mungkinkah Soekarno dikorbankan?

(Termuat di Tabloid Tiras)

SAMPEK GREGETEN AKU

“Rasakno koen!!” tubuh berperawakan sedang itu terhuyung ke belakang saat sebuah pukulan menghantam pelipisnya. Darah pun deras mengalir. Tapi ia tetap berdiri dalam papahan seorang polisi.
Sudah tak terasa lagi perih atau sakit di tubuhnya. Bukan lantaran kebal. Tapi karena sudah terlalu banyak pukulan dan tendangan yang menghujam ke tubuhnya hingga tak bisa dibedakannya rasa sakit itu. Copet itu terdiam. Sekali-kali ia mengadu atau sekedar berujar mengiba.
Hanya sekitar selompatan jarak antara copet itu dengan mobil polisi yang telah menunggunya. Ia pun sudah berusaha berlindung di tubuh sang penegak hukum. Tapi tetap saja tendangan dan pukulan ia terima.
Bahkan hingga ia naik ke atas mobil pun, masih ada orang yang mencuri-curi kesempatan melayangkan bogem mentahnya. Dan mungkin sampai di kantor polisi pun, ia masih akan menjadi sansak hidup.
“Mangkakno, jadi orang itu jangan nanggung. Semua harus maksimal. Kalau mau baik, ya jadilah orang yang benar-benar baik. Jangan separo-separo,” ucap Pak Yik dalam obrolan di gardu Hansip, malam itu.
Topik pembicaraan malam itu dibuka dengan tayangan TV tentang tertangkapnya copet di salah satu pasar tradisional di Surabaya itu. “Sebaliknya. Kalau mau jadi bajingan, ya jadilah bajingan yang hebat sekalian,” timpa Lek Mun.
Ia teruskan omongannya. Katanya, kalau jadi bajingan ndek-ndek’an kayak copet tadi, akhirnya ya loro kabeh. Masih untung ia tidak sampai mati meski mukanya sudah bonyok semua kayak topeng rusak. Pun demikian dengan badannya pasti akan terasa memar yang sakitnya akan terus terasa hingga beberapa hari.
Sudah begitu, ia juga akan tetap dipenjara selama beberapa bulan. Padahal uang yang dijarahnya mungkin paling banter hanya ratusan ribu atau bahkan sekedar puluhan ribu saja. Sungguh tak sepadan dengan akibat yang harus ditanggungnya.
Banyak juga cerita tentang preman pasar, rampok atau maling yang meringis kesakitan setelah tubuhnya diterjang timah panas polisi. Bahkan tak jarang mereka sampai menemui ajal karenanya.
Aparat hukum kita memang terkenal garang dan tegas kalau menangani kasus maling dari kalangan kaum proletar seperti itu. Tanpa kompromi demi memberikan jaminan keamanan dan ketertiban pada masyarakat.
“Tapi cobak kalau nangani kasus bandar gede narkoba atau koruptor atau bajingan lain yang uangnya banyak. Pasti perlakuannya beda. Diperlakukan dengan baik, diistimewakan. Hukumannya pun juga enteng, padahal duit yang dicolong sampai ratusan juta bahkan miliaran,” imbuh Om Yudi.
Contoh yang paling gampang adalah para terpidana kasus korupsi DPRD Sidoarjo periode 1999 - 2004. Mereka tetap diberi keleluasaan untuk menghirup udara bebas meski putusan MA sudah turun. Nggak segera ditangkap dengan berbagai dalih.
Yang paling gres, mereka malah mengajukan penangguhan penahanan dengan alasan masih harus mengerjakan tugas negara yakni memproses pembuatan berbagai macam perda. Ah gombal. Uniknya, yang gitu-gitu itu malah ditanggapi sama kejaksaan.
“Sampek gregeten aku nek mbahas soal iku. Mestinya orang-orang seperti itu dibedil saja. Bayangno ae, mereka itu sudah dibayar mahal sama rakyat. Puluhan juta per bulan. Kerjanya juga sak karepe dewe. Mbolos terus yo gak ada sanksinya. Pokok’e sak enak’e lah. Lho ngono kok sik tego ngunthal duit’e rakyat,” Om Beki yang akhirnya ikut angkat omongan. Dari tadi dia diam saja sambil nithili’i singkong bakar.
“Lho sopo sing ngunthal pohong sak mene akehe. Aku kok gak kumanan blas,” Pak Yik protes. Semua kepala yang ada di gardu hansip itu menoleh ke arah Om Beki. Yang dipecicili cumak meringis. “Sori nda, luwe wetengku.”

(termuat di Tabloid Headline)

GAMPANG GOLEK UTANGAN

Seperti halnya pembagian dana BLT, Operasi Pasar beras, gula dan minyak goreng murah ataupun pembagian zakat menjelang Idul Fitri, pelaksanaan Tes CPNS juga selalu diserbu massa.
            Berbondong-bondong masyarakat mendatangi tempat pendaftaran hingga ke lokasi ujian. Begitu juga saat mereka melihat hasil pengumuman hasil tes yang mereka lakoni sebelumnya.
            Sebongkah harapan digantungkan untuk bisa meraih pekerjaan sebagai pamong praja itu. Bahkan berbagai cara dilakukan agar tujuan itu teraih. Mulai dari yang halal sampai yang terlarang pun nekad diterobos juga.
            Ada yang berusaha mencari bocoran soal atau bahkan kunci jawaban tes itu dengan cara menyuap. Ada juga yang mencoba ‘menitipkan’ peserta tes pada oknum pejabat yang dianggap punya kekuasaan untuk menentukan lulusan. Atau setidaknya pada orang-orang tertentu yang dianggap punya akses langsung pada sang pejabat yang dimaksud.
            Tentu saja, tidak ada yang gratis. Seperti halnya jargon Pemprop Jatim, Jer Basuki Mawa Bea, untuk menggapai tujuan itu tentu saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
            Seorang ibu pernah ngomong padaku tentang anaknya yang berniat dimasukkan sebagai Calon PNS. “Wistalah Pak, berapapun akan saya bayar asal anakku ini bisa jadi Pegawai Negeri. Nek perlu tak golekno utangan kalau uang saya yang ada ini gak nutut,” katanya.
            Lalu kutanya, kenapa sih harus begitu ngoyo jadi pegawai negeri. Toh pengabdian pada bangsa bisa dilakukan lewat profesi dan pekerjaan yang lain, asal dilakukan dengan benar dan ihklas.
            Lalu si ibu itu menjawab. “Walah pak, gak usah ngomong soal pengabdian. Kemelipen. Sekarang ini asalkan bisa dapat pekerjaan saja sudah Alhamdullilah. Apalagi kalau jadi Pegawai Negeri, pasti hidup anak saya ini akan enak nantinya,” omongnya.
            Dia bilang, PNS itu kerjanya enteng, bisa disambi. Menurutnya seorang PNS itu juga tidak perlu terlalu pinter, yang penting selalu manut pada perintah atasan, dijamin kariernya pasti akan lancar.
Sudah gitu gajinya juga lumayan besar dan pasti naik terus setiap tahunnya. Belum lagi dengan berbagai tunjangan dan insentif. Apalagi kalau nantinya bisa memegang jabatan tertentu, pasti akan lebih makmur lagi.
            “Enaknya lagi, pensiunnya itu. Sudah nggak kerja tapi tetap dapat bayaran rutin setiap bulannya. Kalau kerja di swasta khan nggak bisa begitu. Harus kerja keras sampai tua kalau mau hidup enak,” tambahnya.
            Omongan itu sempat kujadikan bahan obrolan dengan beberapa PNS yang jadi teman cangkrukku sehari-hari. Mereka bilang, pendapat ibu tak semuanya benar, tapi juga tidak salah sama sekali.
            “Tapi sing paling enak, PNS itu selalu punya peluang untuk korupsi sesuai tingkatannya masing-masing. Kalau yang punya jabatan, ya bisa korupsi uang. Tapi PNS ndek-ndekan kayak aku ini paling-paling cumak bisa korupsi waktu,” kata temanku yang mewanti-wanti jati dirinya disimpan rapat-rapat jika ceritanya itu kujadikan bahan tulisan di koran.
            Caranya, cari utangan dulu sebanyak-banyaknya. SK pengangkatan digadaikan. Terus ya bisa utang ke koperasi. Cicilan pasti lancar karena potong gaji. Soal kebutuhan hidup sehari-hari, bisa cari ceperan dari sumber lain. Misalnya makelaran mobil, calo pengurusan STNK atau surat-surat ijin usaha seperti HO, SIUP dan sebagainya. 
Lantaran itulah, menurutnya wajar jika masyarakat berlomba-lomba ingin jadi pegawai negeri. Termasuk para pejabat pemerintah yang juga ngotot menjadikan anak, mantu dan ponakannya PNS.
            “Pejabat juga manusia yang ingin anak cucunya hidup makmur. Apalagi mereka juga sudah merasakan enaknya jadi PNS. Jadi siapa yang nggak mau jadi PNS. Pean gak kepingin ta Cak”.

(termuat di Tabloid Headline)

NYOLONG YA NYOLONG, TAPI JANGAN RASKIN DONG

Mata seniman, teman ngobrolku saat itu, langsung melotot. Rupanya ia tak terima ketika aku menyebut kata ‘budaya korupsi’ dalam pembicaraan kami yang sudah berlangsung hampir satu jam itu.
            “Jangan pernah bilang korupsi sebagai budaya. Sejak awal adanya komunitas manusia yang mendiami tanah negeri ini, tak pernah tercipta sebuah budaya yang namanya korupsi. Salah kaprah itu,” nada bicaranya kian meninggi.
            Bukannya melunak, aku justru tambah semangat. Kupancing-pancing dia agar semakin marah hingga ia pun kian mengumbar semua pendapat dan argumennya soal korupsi dan budaya tadi.
Kulihat bungkus rokok di meja kayu itu sudah hampir habis. Tinggal sebatang yang itupun langsung diambilnya, dibakar ujungnya, dihisap asapnya dari ujung lainnya lalu dihembuskan ke udara. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku bajuku. Kutaruh di meja untuk membangkitkan semangatnya agar mau bicara lebih lama lagi.
Berikutnya, ia pun berusaha membetulkan penggunaan kata yang kupakai tadi. Menurutnya korupsi bukanlah produk budaya. Tapi hanya sebuah perbuatan negatif yang dilakukan oleh segelintir orang. Jadi nggak bisa digeneralisasikan sebagai milik seluruh unsur masyarakat Indonesia.
“Persoalannya, yang namanya korupsi itu sudah kadung menjadi kebiasaan yang mengakar, terstruktur dan tersistem dengan baik. Tak mudah memperbaikinya karena melibatkan semua unsur dari hulu hingga hilir,” bantahku.
Tapi itulah temanku, sang seniman tadi. Pantang baginya untuk kalah, apalagi dalam soal silat lidah semacam ini. Debat kusir pun tak masalah karena tujuannya memang hanya omong-omongan semata. Tak perlu mencari superioritas.
“Ora iso. Yo panggah salah,” dalam bahasa ibunya, ia tetap ngotot dengan pendapatnya. “Budaya itu selalu menghasilkan produk-produk yang positif. Kalau yang uelek-uelek seperti korupsi itu, bukan budaya namanya. Mbuh opo jenenge. Bingung leh ku ngarani,” lucu memang di telinga. Tapi aku senang mendengarnya.
Berikutnya, tanpa ada pancingan pertanyaan pun ia langsung nyerocos sendiri. Bicara ngalor-ngidul. Aku seperti kembali ke masa kuliahku dulu waktu menerima pelajaran tentang ilmu budaya dasar atau antropologi.
“Tapi yo pancen angel memposisikan korupsi iku dalam kategori apa di tengah kehidupan masyarakat kita. Pancen parah sampai-sampai kita disebut sebagai bangsa koruptor nomer 4 di seluruh dunia. Mantan Presiden pun bahkan dituding sebagai koruptor kelas wahid sejagad,” sebentar kemudian ia mulai terdiam.
Ia bilang, sekarang ini semua yang ada bisa dikorupsi. Minimal korupsi waktu. Bagi yang punya kedudukan di jajaran penguasa malah punya kesempatan besar untuk korupsi uang rakyat dari berbagai pos pembelanjaan yang dianggarkan.
“Bahkan bisa juga korupsi beras,” sambungku. Tanpa dinyana ia langsung berdiri. Sarungnya digulung hingga sebatas lutut. “Yen iku yo kebacut!. Opo ora ono barang liyane maneh. Mosok jatah’e wong kere kok sik tego ngentit,” dengan memendam amarah, ia buru-buru berlalu dari hadapanku.
Kali ini ganti aku yang menyesali ucapanku. “Wah gara-gara beras, buyar lakone,” sesalku berkepanjangan.
(Termuat di Tabloid Headline)

JENGGALAYUDHA BUKAN BARATAYUDHA

Oleh kelicikan Sengkuni, Pandawa dijebak. Lima orang bersaudara itu diajak main dadu lawan Wangsa Kurawa. Untuk persahabatan, katanya. Namun dalam perjalanan berikutnya, mereka pun mulai memasang taruhan.
            Awalnya hanya harta yang dipertaruhkan. Angin segar sempat dihembuskan, tapi berikutnya topan badai yang dihantamkan. Pandawa kalah besar hingga hampir tak ada lagi harta yang tersisa.
            Berikutnya giliran tahta dijadikan bahan peruntungan. Dan hasilnya, Pandawa tergeletak. Mereka harus merelakan kerajaannya dikuasai Kurawa. Bahkan mereka pun diharuskan membuang diri ke dalam hutan selama 12 tahun lamanya.
            Mencoba meraih miliknya yang terampas, wanita pun jadi taruhannya. Dan lagi-lagi mereka dikalahkan lantaran kelicikan yang dilakukan para ksatria, bukan kebuasaan para raksasa.
            Akibatnya, Pandawa merana. Mereka harus membayar ketidakmampuannya mengontrol nafsu dengan hidup terasing dan terbuang dari percaturan dunia. Dari situlah hikmah didapat. Sebuah pelajaran dari ganasnya kehidupan.
Sejenak mereka menghilang. Tapi pada saat yang telah digariskan mereka muncul lagi ke permukaan. Kembali menjalani hidupnya sebagaimana karma yang ditetapkan Yang Kuasa pada mereka. ‘Yogasta Kuru Karmani’.
Sebagai ksatria, tugas mereka adalah menegakkan kebenaran di atas kebathilan. Sebagaimana pun beratnya tugas itu, tetap harus mereka jalankan dengan penuh tanggung jawab. Bukan kepada manusia, namun pada Sang pencipta.
Dan salah satu tugas mereka, bahkan menjadi tugas yang paling utama adalah menghantam kecongkakan dan hegemoni wangsa Kurawa dan kroni-kroninya. Hidup sudah menggariskan kedua wangsa itu untuk saling membunuh dan membinasakan. Walau pada dasarnya mereka adalah saudara yang awalnya hidup berdampingan dalam satu atap. Tapi itulah hitam putihnya kehidupan.
Persoalan yang timbul kemudian, yang saling berperang dalam perseteruan antar anggota keluarga Wangsa Barata itu bukan hanya Pandawa versus Kurawa. Namun pihak-pihak lain yang ada di masing-masing pihak.
Korban yang berjatuhan bukan lagi puluhan atau ratusan, namun hingga puluhan bahkan ratusan ribu nyawa. Belum lagi istri-istri yang harus meratapi kematian suaminya dan anak-anak yang merana ditinggal bapaknya.
Ya memang itulah korban yang harus dipersembahkan jika para raja ngotot mengibarkan panji-panji keakuannya di hamparan padang peperangan. Rakyatlah yang paling merasakan sakitnya.
Tapi fakta itu seakan diabaikan begitu saja. Bagi mereka sangatnya wajar jika rakyat harus menjadi korban. Karena menurut anggapannya mereka, rakyat ada memang untuk dikorbankan demi kepentingan para penguasa.
Tapi rakyat sekarang tak lagi bodoh. Mereka justru pintar mencari celah dari perseteruan para raja. Kalau bisa mereka pun ikut meraih untung dalam peperangan itu. Jadi jangan lagi bicara soal pengorbanan. Kalau memang mau perang, perang saja sendiri!. Rakyat hanya akan jadi penonton, petaruh bahkan bandarnya.
(Termuat di Tabloid Headline)

ISOK GAWE NEMPUR

Sudah beberapa kali koran lawas itu ia bolak-balik. Ditutup terus dibuka lagi, begitu berkali-kali. Tapi sepertinya Pak Min belum menemukan berita yang dicarinya. “Peno iku nggolek’i opo ?,” tanyaku.
            “Berita olahraga Pak. Mbok menawi wonten tulisan soal Uston, Taji utowo Haryono. Niku lak lare mriki sih Pak,” ujarnya tanpa memandangku. Matanya terus tertuju ke kertas koran yang sudah lusuh itu.
            “Yo gak onok Pak. Wong iku koran lawas,” jawabku singkat. Kali ini ia mulai putus asa. “Nggih mboten wonten, Pak,” katanya lagi. Koran itu ia lipat sebagaimana asalnya. Lalu ia letakkan di depannya.
            Sejenak kami saling terdiam. Aku menikmati hembusan demi hembusan nafas bercampur asap rokok dari rongga mulutku sembari menulis di kuitansi pembayaran gajinya. Sementara Pak Min hanya duduk tanpa kata. Ia memang pendiam, tak banyak bicara.
            Tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya salah seorang teman meneleponku. Ia tanya apakah semua surat suara Pilcaleg beberapa hari lalu sudah selesai dihitung KPUD. “Durung Cak, paling sesuk ket mari,” kataku pada teman di seberang telepon tadi. “Engkuk nek wis mari kuabeh, pean tak kabari.”
            Pembicaraanku tadi ternyata memancing Pak Min. Ia pun mendongakkan kepalanya. “Sios’e sing menang sinten Pak?,” tanyanya perlahan. Aku pun menjawab bahwa Demokrat yang menang.
            Rupanya meski terkesan pendiam, Pak Min cukup tertarik dengan topik politik. Tanpa diperintah ia pun nyerocos soal getolnya warga di sekitar rumahnya untuk mencontreng tanda gambar partai Demokrat.
            Orang-orang itu bilang padanya kalau Demokrat adalah partainya SBY yang telah berbaik hati memberi wong cilik BLT, beras Raskin dan sekolah gratis. Jadi kalau ingin semua ‘sedekah’ itu tetap diberikan hingga lima tahun kedepan, maka mereka harus memilih Demokrat.
            “Tapi kulo mboten setuju kale omongan niku. Soal’e lak mboten cumak SBY thok sing ndamel aturan niku. Wong wakil’e tiyang Golkar, Menterinya nggih wonten sing saking PAN utowo PKS. Berarti niku lak jalarane tiyang kathah,” ujarnya.
            Sekilas aku memuji pengetahuannya. Walau terlihat lugu ternyata Pak Min bukan orang yang awam dengan urusan politik. “Tapi lak tetep opo jare Presidene,” aku coba terus memancing kapasitas frame of reference-nya.
            Tetap dengan gaya bicaranya yang kalem, tanpa penekanan, ia kembali bersuara. Katanya, sekarang ini Demokrat sudah mulai serakah. Partai ini ngiler dengan kekuasaan. Bahkan jika perlu mereka ingin menggengam kekuasaan secara absolut.
            “DPR’e wong Demokrat thok. Gubernur’e nggih saking Demokrat. Terus Presiden’e mengke malah pimpinane Demokrat. Mosok sesuk bupati mriki yo tiyang Demokrat pisan, pak,” katanya.
            Kujawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Karena politik memang mengharamkan kekuasaan yang setengah-setengah. Sapu bersih atau kompromi merupakan opsi yang harus dipilih. Kalaupun kedua-duanya tak bisa diraih, maka pilihan terakhirnya adalah menjadi oposisi.
            “Ueco nek ngoten Pak. Korupsi siji yo korupsi kuabeh. Aman. Wong kuabeh’e tiyang’e dewe. Wis unthal-unthalen kuabeh jabatane. Sing bejat nggih panggah rakyate kados kulo niki. Tambah remuk. Awet kere,” kali ini nada bicaranya agak meninggi.
            Aku jadi berpikir. Sepertinya Pak Min begitu anti dengan Demokrat dan SBY. Aku jadi menebak-nebak. Orang semacam dia, kalau bukan PDIP pasti simpatisan PKB. Atau kalaupun mbleset, paling ia menyeberang ke PKNU.
Daripada jadi misteri, aku nekad bertanya padanya. “Sakjane, peno iku milih opo sih?.” Tetap dengan air muka tenang ia kontan menjawab, “Demokrat.”
            Lho... Sepertinya ia melihat ada tanda tanya besar di atas kepalaku meski untaian kata tak sampai tersirat. “Lha kulo wedi mboten angsal BLT maleh. Lumayan saget damel nempur.”          

(Termuat di Tabloid Headline)

IKUTI SAYA

Warung kopi di samping Lapas Darjo ini benar-benar menyimpan aura yang sangat dasyat. Buktinya setiap kali cangkruk disana, aku selalu nemu inspirasi untuk membuat tulisan yang akhirnya terpampang di sini. Yang jelas bukan warungnya yang malati, tapi omongan teman-teman secangkrukan yang pating cluet itulah yang bak sumur informasi.
            Seperti beberapa waktu lalu, setelah bicara ngedabrus dan saling gojlok antar teman, pembicaraan kamipun terfokus pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Ada seorang teman yang bilang, sentral kekuasaan selalu berubah arah di setiap era pemerintahan.
            Ia bilang, di jaman orde baru lalu, kekuasaan berada sepenuhnya di tangan eksekutif. Saking berkuasanya sampai-sampai yang namanya pimpinan eksekutif bisa menentukan orang-orang yang akan duduk di legislatif.
            Jangan tanya masalah hukum. Karena kibasan pedang sang peri keadilan pada saat itu benar-benar berada pada kendali sang eksekutif. Pokoknya hampir semua lini dikuasai. Akibatnya korupsi pun menjadi-jadi meski tak sampai muncul di permukaan karena pers dan LSM hanyalah menjadi jangkep-jangkepan saja.
            Di awal era reformasi, berhembuslah wind of change. Tongkat komando berpindah tangan ke legislatif. Kumpulan orang-orang di kantor dewan itu menjelma jadi dewa. Eksekutif jadi tak berdaya. Mereka dijadikan buruh pemerahan, sedangkan sapinya tetap rakyat.
            Untungnya ‘Kala Mangsa’ itu tak berlangsung lama. Berikutnya giliran yudikatif yang berkuasa penuh. Pejabat korup dan anggota legislatif di semua level yang hobi ngutil uang rakyat disikat habis.
            Tapi itupun bukan berarti supremasi hukum sudah benar-benar berdiri tegak menjejak bumi pertiwi. Karena justru merekalah yang jadi virus baru. Saking parahnya, sampai-sampai di masa Abdul Rahman Saleh menjadi jaksa Agung dulu, DPR malah sempat menyebut institusi Kejaksaan sebagai Kampung Maling.
            Omongan itu memang sempat mengundang kemarahan, namun akhirnya tudingan itu terbukti dengan tertangkapnya Jaksa Urip yang memperjualbelikan hukum. Selanjutnya bola salju itupun mengenlinding kemana-mana.
            Hanya saja gelindingan itu masih bisa disetir arahnya, persis permainan kolas neker di pasar malem jaman dulu. Pejabat-pejabat yang sudah nggak bisa ditoto sajalah yang yang dilindas. Sedangkan pejabat yang masih loman atau ada kepentingan tertentu tetap dibiarkan bernafas lega.
            “Itu tandanya yang namanya korupsi sudah terstruktur dan tersistem di negeri ini. Lha iyo koq bisa gitu ya,” ujar seorang teman yang sehari-hari berprofesi sebagai penyiar sekaligus wartawan radio.
            Terus seorang lainnya menimpali. Katanya, “Soalnya pejabat-pejabat nang Indonesia ia salah sumpah. Coba rungokno ta, kalau ada yang pelantikan, si pemimpin pasti para pejabat baru mengucapkan sumpah jabatan. Nah kalimat pertama yang diucapkan sang pemimpin itu adalah ‘ikuti saya’. Mangkakno iku kalau pimpinannya korup, para pejabat baru itu akan ikut-ikutan jadi korup seperti pemimpinnya. Begitu seterusnya sampai sekarang ini.”
            “Terus bagaimana kalau pimpinannya jujur?” tanya teman yang lain. “Pejabat yang baru dilantik yo gak ngomong, cumak nggremeng thok, supaya kebiasaan korupsi itu bisa dilestarikan.”
            Seorang PNS yang menjadi komunitas cangkruk disitu akhirnya ikut angkat bicara. “Kalau nanti aku jadi pejabat dan nglantik bawahanku, aku gak ngomong ikuti saya, tapi mari baca bersama. Dadi kalau ada yang korupsi aku gak sampek dieret-eret,” ujarnya.

(Termuat di Tabloid Headline)

GENDENG ANYARAN

Entah kenapa, beberapa hari terakhir ini aku kangen buanget sama Mas Bagio. Ia kuanggap sebagai teman ngobrol yang paling asyik. Soalnya seringkali aku mendapat hal-hal yang baru usai jagongan dengannya.
            Dan kemarin, kangenku itu sempat terobati saat aku bertemu dengannya di warung langganan kami. Tapi sayang, ia tak terlalu lama disana. Seperti biasa, tiba-tiba saja ia menghilang. Tanpa pamit...lalu...mak plas gitu saja.
            Karena itu siang ini aku nekat mampir ke tempat kerjanya. Sekedar say hello, saling bertukar kabar dan siapa tahu dapat ilmu baru dari hasil omong-omongan dengannya. Itupun kalau ketemu.
            Rupanya ini hari keberuntunganku. Ia ada di kantornya, sedang santai pula. Mataku berbinar, menyiratkan kegembiraan. Pun demikian yang kulihat di raut mukanya. “Kluyuran nang endi ae koen kok gak tau mampir mrene,” sergahnya begitu melihatku datang menghampirinya.
            Ia pun mempersilahkan aku masuk. Dan kalimat pertama yang terlontar selalu basa-basi. Hingga akhirnya kami ngobrol cukup gayeng, ngrasani salah seorang teman yang menurutnya lali sangkan parane dumadi.
             Teman kami tadi memulai riwayat hidupnya dengan runtut. Mulai dari bawah dan merangkak hingga ke tengah. Tapi dasar rejekinya, ia bertemu orang yang tepat disana. Hasilnya, ia pun dibawa berlari cepat menuju ke puncak tangga.
            Sang teman tadi tiba-tiba jadi second commander. Kepandaiannya membuat ia mendapat kepercayaan penuh. Dialah sang penentu dengan cara apa kebijakan umum sang pimpinan dilaksanakan.
            Disinilah awal persoalan bermula. “Nggak kuat nyunggih derajat” begitu istilah Mas Bagio untuknya. Nafsu serakahnya membuncah. Segala yang ada di depannya diunthal. Entah halal atau haram.
Gaya hidupnya pun ikut-ikutan berubah seiring banyaknya tumpukan uang yang ada di sakunya, dompetnya dan rekening bank-nya. Mulailah ia mbyak-mbyakan nggak karu-karuan.
Tapi lama kelamaan perutnya yang tak kuat menahan beban makanan yang panas, puedes, basin dan buosok itu. Iapun jatuh sakit. Kini tak bisa ia nikmati harta yang telah dikumpulkannya. “Apa memang begitu konsekuensinya wong kuoso anyaran,” tanyaku mencoba ngangsuh kaweruh padanya.
Lalu Mas Bagio bilang, katanya butuh persiapan mental dan jiwa yang membaja sebelum memegang kekuasaan. “Asal ada kesempatan, semua orang bisa memegang kekuasaan. Tapi ingat, tak semua orang bisa menjadi pemimpin. Ia harus siap lahir batin sebelumnya,” tuturnya.
Apalagi jika kekuasaan yang dipegang memberikan peluang untuk mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah. Maka orang itu harus semakin tunduk pada Sangkan Parane Dumadi tadi.
Kalau tidak, orang itu akan jadi wong kuoso anyaran yang berikutnya sukses jadi wong sugih anyaran yang adigang-adigung-adiguno. “Akhirnya, iapun pasti akan jadi wong gendeng anyaran.”
Aku mathuk-manthuk mendengarkan wejangannya itu saat ia tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. “Sik yo, aku dienteni Pak Wondo nang warung ngarep.” Kontan saja aku protes. “Pancet ae kelakuan Peno. Plung plas!”

(Termuat di Tabloid Headline)

GAJAH DIBLANGKONI

Hampir tengah malam, sekitar jam 12 kurang sedikit. Seorang teman datang berkunjung ke rumah. Untung aku belum tidur. Masih asyik jagongan itung-itung butuh dengan istri tercinta. Kedatangan sang teman itu tentu saja mengagetkanku. Apalagi wajahnya begitu kusut seperti kain sarung yang diuntel-untel. “Wah arek iki pasti nggowo persoalan,” pikirku kecut. 
Benar saja dugaanku. Setelah berbasa-basi sebentar, iapun mengutarakan masalah pelik yang dialaminya. Istriku tahu diri. Ia segera beringsut pergi ke dapur. Nggodog wedang kopi. Setelah menyuguhkan minuman hangat itu, ia pun beranjak tidur.
Lalu sang teman berujar. Katanya ia baru bertengkar hebat dengan atasannya. Memang bukan bos besar. Tapi atasannya langsung di bagiannya. Saking hebatnya pertengkaran itu, sampai-sampai ia harus memilih pulang lebih dulu dari kantor tempatnya bekerja selama ini untuk meredam emosinya.
Ia pun mengaku sudah tak kuat lagi bekerja di tempat itu. Katanya sang atasan sudah kelewat batas. Otoriter, menurut istilahnya. Semua perintahnya harus dilakukan meskipun tidak tepat.
Sebaliknya semua masukan, ide dan saran yang disampaikannya tak pernah digubris meski semuanya dilakukan demi kebaikan perusahaan tersebut. Bahkan ide-ide itu dimentahkan begitu saja tanpa ada alasan yang masuk akal dan bisa diterima.
Pernah ia mencoba potong kompas. Menyampaikan langsung ide dan sarannya itu pada bos besar. Hasilnya memang positif. Idenya diterima. Sesuai dengan prosedur, sang bos besar pun memerintah atasan itu tadi untuk melaksanakan ide temanku tadi.
Tapi bukan pujian yang ia terima. Sang teman malah dicaci-maki oleh atasannya tadi. Dijadikan bulan-bulanan dan sasaran kemarahan. Ia dibilang sok tahu, sok pintar dan segala bentuk cercaan lainnya.
“Gak pisan-pindo sing koyok ngono iku, Cak. Wis buolak-balik, sampai pusing aku. Maunya dia, kerja itu gak perlu ngoyo-ngoyo. Pokok’e kerjo. Ide dan masukanku itu malah dianggap nambah-nambahi gawean. Wong kreatif kok malah disalahkan,” keluhnya sambil pecuca-pecucu gak karuan.
Yang tambah membuatnya kian mangkel, di kesempatan lainnya si atasan itu malah kerap menceramahi pegawai di bagian lainnya tentang bagaimana etika dan aturan bekerja yang baik dan profesional.
Sebagai salah satu orang kepercayaan bos besar, atasan itu bilang bahwa seorang pegawai dituntut mampu bekerja secara efektif, produktif dan efisien. Bahkan kalau perlu seorang pegawai harus profesional dengan melakukan hal-hal yang inovatif dan kreatif.
Emosi sang teman pun membumbung tinggi kala menceritakan masalah itu. Ia menyebut atasannya itu sebagai gajah diblangkoni. Isok khotbah tapi gak isok nglakoni. Munafik dan lain-lain.
Ia terus mencerocos. Sementara pikiranku malah melayang-layang. Aku teringat soal Dishub Sidoarjo yang begitu getol meminta seluruh lapisan masyarakat, termasuk PNS di  lingkungan Pemkab Sidoarjo membeli tiket parkir berlangganan.
Berbagai cara dilakukan untuk menyukseskan program bernilai miliaran rupiah tersebut. Lucunya, justru para stafnya sendiri malah tak mau mengeluarkan duit dari dompetnya untuk membeli tiket parkir berlangganan itu. Podo ae. Gajah diblangkoni pisan.
Tiba-tiba sang teman tadi mengagetkan lamunanku. “Nek nurut pean, aku kudu yok opo Cak,” tanyanya. Tanpa pikir panjang aku pun bilang, “yo wis lho, metuo ae. Aman khan.”
Ia pun membanting putung rokoknya ke lantai dan menginjaknya dengan keras. “Wah ngawur iki. Terus mangane anak bojoku melok pean ta,” ucapnya emosi. Aku hanya bisa tertawa ngakak.

(termuat di Tabloid Headline)

FORUM PRIVILEGIATUM

Di masa penjajahan kolonial Belanda dulu, ada sebuah istilah yang berkaitan dengan perlakuan hukum, yakni Forum Privilegiatum. Jika tak salah persepsi, istilah itu berarti sekelompok orang-orang tertentu yang berhak mendapatkan perlakuan hukum khusus lantaran kedudukan dan status sosialnya. Diantaranya para bangsawan pribumi, pegawai pemerintah kolonial, warga negara Belanda dan negara-negara Eropa lainnya dan orang-orang Cina.
Di jaman itu, orang-orang yang tergabung dalam forum tersebut sudah dipastikan tidak akan terkena jeratan hukuman penjara meski telah terbukti sah dan meyakinkan melanggar aturan hukum negara.
Mereka  bisa tetap melenggang kangkung. Tak tersentuh hukum. Dan kalaupun kesalahannya dianggap sangat berat dan harus menjalani hukuman, paling-paling hanya berupa pengasingan dalam kurun waktu tertentu.
Dalam masa pengasingan itupun, sang terhukum tetap bisa melakukan aktifitas sosialnya dengan masyarakat setempat. Selain itu mereka juga mendapat fasilitas yang jauh lebih  baik daripada rakyat jelata yang sama-sama berstatus sebagai orang hukuman.
Sekarang ini, jaman memang sudah berubah. Indonesia sudah tidak lagi berada di dalam cengkeraman tangan kolonial. Kita sudah merdeka. Karenanya aturannya pun juga berubah. Lebih pribumi. Forum Privilegiatum sudah tak ada lagi. Berkali-kali pemerintah menekankan sebuah slogan, ‘Semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama terhadap hukum’.
Namun fakta justru berkata lain. Para penegak hukum saat ini masih melestarikan pola-pola  Forum Privilegiatum meski tidak secara jelas dan terang-terangan. Hanya saja unsur-unsur masyarakat yang masuk dalam Forum Privilegiatum sudah berubah.
Posisi pegawai pemerintah kolonial dalam forum itu digantikan oleh kelompok-kelompok penguasa, pejabat pemerintah. Posisi warga negara Eropa digantikan oleh orang-orang yang punya kedekatan atau hubungan khusus dengan pejabat pemerintah atau aparat hukum. Dan akhirnya, para kaum bangsawan pribumi posisinya digeser oleh orang-orang kaya yang berani menyetor lembaran rupiahnya untuk mempengaruhi putusan atau perlakuan hukum baginya.
Walau sulit sekali untuk dibuktikan secara yuridis formal, namun sepak terjang para anggota Forum Privilegiatum itu jelas terlihat. Dan fenomena semacam itu terjadi hampir di seluruh pelosok negeri, termasuk di Kabupaten Sidoarjo sendiri.
Memang dalam beberapa kasus tertentu, ada pula orang-orang yang sebenarnya masuk dalam Forum Privilegiatum itu namun tetap saja terjaring jerat hukum. Tapi pasti hal itu bukan lantaran tajamnya pedang sang dewi keadilan.
Tapi karena adanya campur tangan politik atau kepentingan tertentu lainnya dari unsur kekuasaan yang lebih tinggi untuk melindungi dirinya dengan cara menjebloskan bawahannya sebagai kambing hitam.
Rupanya Kemerdekaan Indonesia yang telah berumur 69 tahun itu masih sumir maknanya, terutama dari pandangan kacamata penegakan supremasi hukum. Hukum kita masih laksana sarang laba-laba. Nyamuk, lalat, laron dan serangga kecil lainnya dapat dengan mudah terperangkap di dalamnya. Mereka hanya bisa pasrah sembari menunggu masa eksekusi tiba.

Tapi tidak demikian dengan para tikus, kucing, kambing dan juga anjing. Sarang laba-laba yang menghadang itu  langsung diterjangnya, diterobos hingga rusak terkoyak-koyak. Tapi tak masalah, karena sebentar lagi sang laba-laba akan kembali membuat jaringnya kembali. Gampang saja kok.

SUSAHNYA JADI ORANG KAYA

Aku duduk di sudut kedai di salah satu mall megah di Surabaya. Sudah lama aku menunggu, hampir satu jam. Tapi mereka belum juga muncul. Hari itu aku akan mengadakan pembicaraan bisnis kecil-kecilan.
Seorang teman akan mengenalkanku dengan seorang rekannya. Katanya ia membutuhkan tenaga dan pikiranku untuk perusahaan media massa yang akan mereka buat bersama.
Setelah sekian lama akhirnya mereka datang juga. Setelah berbasa-basi sejenak, pembicaraan kami langsung mengarah pada topik yang telah direncanakan sebelumnya. Rupanya sang investor tadi mengaku sibuk, sehingga ia tak punya banyak waktu untuk duduk santai.
Okelah. Kamipun langsung berbincang serius. Percakapan pun berakhir dengan sebuah kesepakatan. Katanya, akan ada pembicaraan selanjutnya setelah aku menyodorkan konsep tertulis pola pemberitaan yang kusampaikan padanya. Selesai.
Meski begitu kami tak keburu bubar. Masih ada secangkir kopi dan sepotong croisant yang harus dihabiskan. Sayang kalau ditinggal begitu saja. Selain rasanya yang cukup enak, harganya juga terbilang mahal untuk ukuran kantongku.
Saat itulah, temanku membuka pembicaraan. “Gimana soal calon Presiden. Kayaknya bakal rame nih. Rasanya SBY tidak akan bisa menang mudah. Ia harus kerja keras dulu,” katanya.
Apalagi, tambahnya, sekarang ini hampir semua pasangan calon Presiden yang tampil sudah mulai melakukan pendekatan pada masyarakat dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka saling tebar pesona untuk berusaha mendulang suara dukungan sebanyak-banyaknya.
Rupanya sang investor tadi mulai tertarik dengan topik pembicaraan itu. Ia langsung menyahut. Katanya, kalau pas ada agenda politik semacam itu, rakyat kecil seakan menjadi primadona.
Mereka diberi janji-janji manis karena dianggap sebagai anak bangsa yang menderita sehingga harkat, martabat dan derajat hidupnya harus diangkat ke level tertinggi yang bisa dicapai.
Disisi lain, para aktor politik itu mengkambinghitamkan para pengusaha terutama dari etnis Cina sebagai biang keterpurukan perekonomian masyarakat. Mereka dianggap sebagai sekelompok orang yang telah merampok kesejahteraan rakyat dengan cara-cara kotor.
“Ngenes rasanya kalau ndenger omongannya caleg, calon presiden atau calon walikota dan bupati itu. Kita orang dijelek-jelekno terus. Kayak’e awak dewe ini yang bikin rakyat jadi miskin,” ujarnya dengan nada sinis.
Padahal faktanya, para calon pejabat itu justru datang pada mereka. Tujuannya hanya satu, minta bantuan dana untuk mendukung kegiatan kampanye mereka. Cara mintanya pun macam-macam. Ada yang merayu dengan janji-janji manis. Dan ada pula yang memaksa lantaran si calon masih menjadi penguasa.
“Siapa bilang jadi orang kaya itu enak. Coba pikiren ta. Kami ini sudah dipajek’i, eh malah dielek-elekno kalau pas kampanye. Itu namanya khan kurang ajar. Tapi awak dewe bisa apa? Mau protes juga nggak mungkin. Paling-paling ya cumak bisa ngelus dodo,” tambahnya.
Kondisi ini jelas berbeda dengan era orde baru lalu. Katanya waktu itu mereka lebih diajeni. Setidaknya walaupun menjadi target ‘operasi bathok’ penguasa, tapi mereka tidak perlu dijadikan isu kampanye.
“Dan yang pasti kompensasinya jelas. Begitu orang yang minta uang ke kami itu benar-benar jadi pejabat. Ia pun langsung ingat kami waktu mau bagi-bagi proyek. Cincai-cincai lancar lah. Ndak seperti ini, mbojai kabeh,” ujarnya ketus.

(Termuat di Tabloid Headline)

ASU GEDE MENANG KERAH’E

Forum diskusi lintas profesi kembali dibuka di warung kopi ini. Sebagaimana namanya, peserta yang hadir datang dari berbagai latar belakang pekerjaan. Ada yang berstatus wartawan, pentolan LSM, tukang rombeng, PNS kawak yang hampir pensiun dan tentu saja bakul wedang kopi.
            Seperti biasanya, forum ini dibuka dengan obrolan-obrolan berbagai topik. Diantaranya tentang TV Delta yang siarannya disebut dengan istilah dari rakyat, oleh staf dan untuk staf.
Maksudnya bikin TV pakai uang rakyat, yang produksi staf sendiri terus hasilnya dilihat sendiri oleh staf TV Delta sendiri. Soalnya selain kualitas materi acaranya yang pas-pasan, daya pancarnya juga sangat terbatas sehingga siarannya hanya bisa ditangkap di seputaran lokasi studione dewe.
Sedangkan sebagaian besar wong Darjo malah gak ngerti blas dengan keberadaan TV Delta itu. Bahkan Bupatinya sendiri yang rumah dinasnya masuk dalam daya pancar TV Delta itu malah sama sekali nggak pernah nyetel chanel stasiun televisi buatannya sendiri itu.
“Gitu itu khan namanya muspro. Tiwas ngeluarkan uang miliaran buat mbandani TV Delta tapi gak ada hasilnya blas. Daripada gitu, khan lebih baik duitnya dipakai beli es cao biar bisa dibuat adus wong sak kabupaten,” tukas bakul wedang sembari sibuk bikin mie godok.
Selanjutnya topik pembicaraan pun kembali ngalor-ngidul tanpa arah yang jelas. Sampai akhirnya jagongan itu terfokus pada sambatannya salah seorang staf dinas di lingkungan Pemkab Sidoarjo yang merasa cumak kebagian pulut. Sedangkan nongkonya diunthal atasannya.
Maksudnya, kalau ada garapan proyek, si atasan tadi yang langsung menanganinya. Padahal semua juga tahu, kalau hubungannya dengan proyek, ujung-ujungnya pasti ada duitnya.
Sebaliknya jika urusannya rapat ini dan itu, si bawahan itu tadi yang selalu disuruh menghadiri. Jadi ia selalu disuruh mikir, sedangkan upahnya hanya jajan sak kothak plus segelas air mineral.
Gara-gara itu, si staf tadi sampek plengos-plengos jika berhadapan dengan bosnya. Yang terjadi kemudian, dia pun selalu ngrasani atasannya tadi pada semua orang yang ia temui. Akibatnya masalah itupun menjadi hot isu yang menarik diperbincangkan meski hanya sebatas warung kopi thok.
“Sakjane persoalan seperti itu nggak perlu terjadi kalau dua-duanya mau mengerti posisinya masing-masing. Artinya dalam urusan rejeki, semua sudah ada porsinya sendiri-sendiri. Yang pangkatnya lebih rendah ya memang harus ikhlas kebagian paku reng. Sedangkan yang jabatannya lebih tinggi sudah pasti akan kebagian paku dudur. Itu wajar. Jadi nggak usah ngiri,” kata peserta diskusi yang berasal dari unsur PNS.
Argumentasi itu langsung dibantah pentolan LSM yang sedari tadi sepertinya memang sudah menyiapkan omongan. “Yo ndak bisa gitu, Pak. Saling berbagi khan malah lebih baik. Lha kalau menang-menangan kayak gitu, namanya asu gede menang kerah’e. Padahal yang diperebutkan hanya balung tanpo isi,” ujarnya sinis.
Lho, tiba-tiba saja wajah pak PNS mendadak bersemu merah. “Sik...sik. Yang mbok maksud balung tanpo isi itu opo. Terus yang kamu sebut asu itu sopo?,” katanya dengan nada tinggi.
“Yo embuh Pak. Mosok gitu aja kok perlu diterangno. Podo-podo ngertine lah,” jawab si LSM enteng.
(Pak Di - Termuat di Tabloid Headline)

ALA..NGGEDABRUS

Menjelang sore di ruang kerja seorang pejabat Pemkab Sidoarjo. Sang pejabat duduk di kursinya. Tangan kanannya memegang Hp. Tubuhnya ia sandarkan ke belakang. Ia terlihat sedang santai berbincang dengan seseorang.
            Sedangkan aku dan dua orang rekan wartawan lainnya duduk di sofa yang tersedia di ruang kerja itu. Mata kami asyik memelototi siaran berita yang disajikan TVRI sembari menikmati makanan kecil yang disediakan sang tuan rumah. Lalu kami pun ngobrol ngalor-ngidul, membicarakan isu yang lagi hangat terjadi di belantara internasional, nasional hingga ke level lokal Sidoarjo-an.
            “Pean eruh ta baliho’e bupati, Kapolres, Kajati ambek Dandim sing dipasang nang prapatan Babalayar iku ta, Cak,” tanyaku pada salah seorang rekan wartawan. Kontan iapun menjawab. “Wah gak nang kono thok baliho’ne. Nang endi-endi yo dipasang,” ucapnya.
            Lalu teman satunya lagi menimpali. “Lha iyo temen omongan iku. Jarene kate mbangun bangsa dengan kejujuran. Sing endine sing jujur. Sopo sing jujur,” ucap teman tadi sambil mencibir sinis.
            Aku pun tak mau kalah. “Lha iyo, masyarakat saiki wis pinter-pinter. Gak isok mereka dibohongi ambek kalimat-kalimat retorika koyok ngono iku. Masyarakat wis eruh kok yok opo kelakuane pemerintah, termasuk aparat hukum’e,” kataku.
            Komentar senada pun saling bersahut-sahutan dari setiap mulut yang ada di ruangan itu. Sedangkan si pejabat tetap saja asyik menelepon. Malah seakan-akan nada bicaranya semakin gayeng.
            “Lha iyo, kalau semua pejabat nang Indonesia iki jujur temenan, gak mungkin Indonesia mlarat koyok ngene. Semua orang pasti sugih karena kerjanya enak. Negara tambah makmur karena APBNnya dipakai membangun bangsa,” ucap salah seorang teman.
            “Buktine lak gak koyok ngono ta. Yo tetap mbangun sih, tapi sak piro akeh’e duit sing digawe mbangun iku? Sik luwih akeh duit sing dientit poro pejabat. Lha nek kene carane, yok opo carane negoro isok maju. Sik tas rodok enak thitik ae wis kenek krisis ekonomi global maneh. Gak tambah makmur malah tambah ajur negoro iki,” seru yang lain.
            “Mangkokno iku,” lanjutku. “Mestinya wis gak perlu ngetokno uang banyak buat bikin baliho koyok ngono iku, percuma. Yang paling pas itu, ya dilakukan saja. Nanti rakyat lak eruh dewe. Kalau pemimpinnya iso jujur temenan, rakyat’e yo ikut jujur. Lha kalau pimpinannya doyan nggedabrus, yo kabeh melok-melok nggedabrus,” kataku.
            Tiba-tiba sang pejabat bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri kami. Tangan kanannya langsung mengambil dompet dari saku belakang celananya. Cepat ia keluarkan beberapa lembar uang Rp 50 ribuan.
            “Termasuk koen-koen iki yo melok nggedabrus pisan. Iki lho duit, gelem opo enggak? Tapi tak kandani yo, duit iki asal’e yo teko entit-entitan sing mbok omongmo mau,” tantangnya. Dan, ha...ha...ha..., tawa kami pun pecah seketika.
(Pak Di - termuat di Tabloid Headline)