Rabu, 16 April 2014

Soerabaia, Van Buiten Blink, Van Binen Sting


Pemkot Surabaya boleh saja menetapkan usia kota pahlawan ini 'masih' 720 tahun, namun sebenarnya munculnya kelompok masyarakat di kawasan ini sudah terjadi jauh sebelumnya. Sejarawan Belanda, GH Von Vaber dalam bukunya yang berjudul Oud Soerabaia menuliskan Sejarah Kota Surabaya lahir di tahun 1275.
Kala itu, Raja Singasari, Kertanegara membuka kawasan di sebelah barat Kalimas sebagai tempat permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan yang terjadi pada tahun 1270 M.
Itulah noktah awal terbukanya daerah baru di hilir sungai Brantas yang terus berkembang menjadi kawasan pemukiman. Sebagai daerah pesisir alias coastal area, Surabaya mengalami pertumbuhan yang cepat karena dibarengi dengan aktifitas perekonomian dan transportasi interland yang memadai.
Salah satu fakta sejarahnya adalah dipakainya kawasan ini sebagai salah satu lokasi pendaratan armada Kerajaan Mongol yang memiliki misi utama menghancurkan raja Jawa demi memenuhi ambisinya memperluas kekuasaan Khubilai Khan.
Pemukiman di Surabaya ini terus mengalami pergeseran persebaran, dimana pada awalnya pemukiman di Surabaya ini tersebar di daerah utara Surabaya hingga pada perkembangannya pemukiman terus berkembang ke arah selatan, barat, dan timur Surabaya. 
Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan akan pertahanan, adanya kegiatan perekonomian seperti perdagangan dan politik, terbukanya serta pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal.
Meski menjadi kawasan yang begitu potensial, namun secara politik Surabaya selalu berada pada kekuasaan pihak lain. Setelah Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram. Titik awal perkembangan Kota Surabaya justru ketika VOC berdaulat penuh atas kota ini. 
Itu terjadi sekitar abad ke-18, tepatnya 11 November 1743, setelah ada perjanjian antara Gubernur Jenderal Belanda van Imhoff dengan raja dari Mataram, yaitu Paku Buwono II yang salah satunya adalah penyerahan Surabaya ke tangan bangsa asing.
Dalam pendudukannya itu, VOC mula-mula membangun loji dan benteng yang terletak di sebelah Utara kota Surabaya lama (sekarang kira-kira berada di daerah kompleks kantor Gubernur Jatim di Jl. Pahlawan). Sedangkan hunian bagi pra prajuritnya disentralisasi di Fort Retranchement yang berada di sekitar benteng tadi.
Fase perkembangan kota terbagi menjadi dua. Diawali dengan terbentuknya Kota Bawah, untuk kemudian disusul dengan Kota Atas. Kota Bawah Surabaya menjadi pusat kegiatan terutama gedung-gedung pemerintahan Belanda di Surabaya. 
Untuk kawasan pemukiman, berdasarkan undang-undang Wijkenstelsel, kota Surabaya dibagi dua. Permukiman pertama adalah kampung orang-orang Eropa yang terletak di barat Jembatan Merah dan Simpang, yang kemudian berkembang ke arah Selatan, Keputran dan sekitarnya.
Kedua adalah permukiman orang-orang Timur Asing (Vreande Oostrelingen), yaitu Tionghoa (Pecinan) dan Arab yang berada di sebelah timurnya. Yakni kawasan Kembang Jepun, Kapasan dan Pasar Atom untuk orang-orang Cina. Sedangkan para imigran dari Arab disentralisasi di sekitar Masjid Ampel. 
Lalu dimana areal pemukiman untuk orang-orang pribumi. Tak ada lokasi khusus untuk para bumiputera di kota pemerintahan dan perdagangan yang baru terbentuk itu. Mereka harus rela tinggal diantara tanah-tanah yang tersisa atau dibalik gedung-gedung milik Eropa dan kaum pendatang asing lainnya dengan kondisi yang sangat kontras dan rawan penyakit.
Karena itulah, muncul sindiran dari orang-orang Belanda yang menggambarkan paradoksnya kondisi pemukiman di Surabaya. Dalam istilah mereka, 'Surabaya van buiten blink, van binen sting'. Artinya kurang lebih Surabaya terlihat indah jika dipandang dari luar namun begitu kumuh di dalamnya. Menyedihkan.*


Jumat, 21 Februari 2014

SIHIR PARIS VAN JAVA

Ada satu hal yang begitu membekas di benakku saat diajak nglencer Bagian Humas dan Protokol ke Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Di akhir acara audiensi yang digelar di ruang auditoriumnya yang mewah, Sekretaris Badan Infokom Kota Bandung bilang, “.....belanjakan uang anda sebanyak-banyaknya di Kota Bandung...”
            Memang, kawasan kota kembang itu merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang kerap dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Apalagi di akhir pekan, lalu-lintas kota Bandung yang relatif semrawut kian bertambah ruwet.
Kemacetan terjadi hampir di semua ruas jalan. Terutama di pusat-pusat keramaian seperti kawasan Dago yang menjadi ajang cangkruk para kawula muda disana. Di areal seputaran kampus itu penuh dengan cewek-cewek geulis plus beraneka jenis kuliner khas daerah setempat.
Pun demikian dengan kawasan Jalan Cihampelas dan Cibaduyut sebagai sentra perdagangan pakaian jadi dan produk industri olahan kulit berbentuk sepatu, tas, ikan pinggang serta barang semacamnya.
Hari itu benar-benar puncaknya, malam minggu tanggal muda. Mobil pribadi, kendaraan umum maupun angkutan wisata seakan berebut ruang dengan pedagang kaki lima yang hampir semuanya sibuk bertransaksi dengan para pembeli. Keriuhan yang sudah berbatas tipis dengan kesimpang-siuran itu seakan menjadi irama penghentak yang menambah asyik suasana bagi para penggila wisata belanja.
            Meski terlibat di dalamnya, namun sayangnya aku tak serta-merta terlarut dalam kemeriahan itu. Padahal aku sudah berusaha keras untuk menikmatinya. Tapi tetap saja logikaku berlarian di habitat yang kuciptakan sendiri di alam pikiranku.
            “Apa yang istimewa disini. Barang-barang yang dijual hampir semuanya tersedia di Sidoarjo. Kalaupun tak ada, aku hanya perlu sedikit tambahan energi untuk mencarinya di Surabaya. Pasti ada, minimal corak ataupun modelnya,” ego primordialku memberontak.
            Soal harga juga kurasa tak terlalu spesial. Bahkan bisa jadi aku bakal mendapatkan barang sejenis dengan nilai rupiah yang lebih murah tanpa harus jauh-jauh perlu ke ujung lain pulau Jawa berjarak 689 km dari kotaku sendiri. Yang mengherankan orang-orang itu bahkan aku sendiri sampai sempat tersihir hingga tersedot dalam kumparan bermedan magnet dasyat itu.
            Akhirnya kutemukan juga jawaban setelah sekian lama bergelut dengan logikaku. Ini semua hanyalah efek sebuah pencitraan yang sukses digarap oleh pihak-pihak yang berkepentingan disana hingga mereka bisa mengubah kesan biasa menjadi begitu luar biasa.
            Saking istimewanya sampai-sampai seorang bupati Sidoarjo ngiler dan mengajak para bawahan serta koleganya membelanjakan duit ratusan juta rupiah yang konon sebagian diantaranya adalah milik warga kota Delta di Paris Van Java.

(termuat di Tabloid Headline)

SEMUA DEMI APBN, BUKAN DEMI RAKYAT

Aku tertarik dengan pernyataan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Saat itu ia meminta para pengusaha nasional untuk tidak mem-PHK karyawannya meski biaya produksi semakin tinggi akibat kenaikan BBM.
            Bahkan ia meminta para pengusaha untuk memberikan tunjangan uang makan plus kenaikan insentif bagi karyawannya demi mempertahankan daya belinya di tengah melambungnya harga berbagai komoditas perdagangan.
            Lalu sang Wapres membagikan ilmunya pada para pengusaha itu. Ia bilang kenaikan ongkos produksi itu harus diimbangi dengan penghematan yang menyeluruh. Biaya-biaya yang tak penting harus dipangkas. Demikian pula dengan rencana pembiayaan yang tidak termasuk prioritas utama juga bisa dikesampingkan.
            Pernyataan yang hampir serupa juga pernah disampaikan sang Presiden SBY. Ia malah menghimbau pusat-pusat pembelanjaan untuk mengurangi jam operasionalnya demi menghemat penggunaan energi listrik.
            Banyak sudah tips-tips sekaligus trik-trik yang diajarkan duet pimpinan bangsa itu pada rakyatnya agar mereka mampu bertahan dalam menghadapi multi krisis yang menghantam negeri nusantara ini.
            Namun aku jadi geli ketika melihat kelakuan pemerintah yang tak bisa memberikan contoh nyata dari segala nasehatnya tadi. Soal penggunaan energi listrik tadi, misalnya.
            Sudah jamak diketahui publik jika lembaga pemerintah merupakan konsumen PLN yang paling boros menggunakan  energi listrik. Contoh saja, hampir semua ruang kerja di kantor-kantor pemerintah menggunakan AC yang terus dibiarkan menyala di jam-jam istirahat. Belum lagi dengan lampu ruangan yang terus benderang sepanjang siang. 
            Ini masih belum seberapa. Di jam-jam kerja, para staf kantor pemerintahan lebih suka menggunakan komputer di ruangannya untuk bermain game. Hal ini terjadi lantaran lebih banyaknya tenaga kerja ketimbang beban garapan yang harus dikerjakan.
            Pun demikian dengan penggunaan BBM untuk kendaraan dinas. Tak ada sama sekali kebijakan untuk berhemat. Misalnya penggunaan mobil bersama. Yang terjadi justru munculnya anggaran untuk pembelian mobil-mobil baru ber-CC besar bagi para pejabat tinggi di pusat maupun daerah.
            Badai krisis yang menimpa negeri ini lantaran lonjakan harga minyak dunia hanya menimpa rakyat. Sedangkan pemerintah sama sekali tak merasakannya. Paling-paling mereka hanya dipusingkan mengatur alokasi anggaran negara maupun daerah agar tetap cukup untuk membiayai rencana kerja mereka.
            Seperti dikatakan SBY beberapa waktu lalu. Ia bilang keputusan menaikkan harga BBM itu semata-mata demi menyelamatkan APBN agar tak terus mengalami pendarahan akibat njomplangnya patokan harga minyak.
           Karena itu iapun memilih alternatif terakhir itu dengan patokan angka maksimal, 30 %. Karena dengan begitu APBN bukan saja terhindar dari hantu defisit namun justru surplus hingga bisa dipakai untuk memberi rakyat miskin sedekah bernama BLT.
            Sekarang pemerintah bisa tenang. Menarik nafas panjang penuh kelegaan karena APBN telah terselamatkan. Soal kesulitan rakyat, cukup BLT saja yang jadi solusi utamanya.
            Kalau rakyat benar-benar telah terbuai dan sibuk berebut uang seratus ribuan per bulan, itu berarti misi telah sukses dijalankan. Namun kalau sampai muncul gejolak, anggap saja sebagai masa bermain bagi institusi kepolisian agar mereka bisa menguji kekuatan otot-ototnya dengan melawan tulang rakyat.
            Gini kok bilang bangkit, merdeka atau segala bunyi jargon heroik lainnya. Nggedabrus!!!.

(Termuat di Tabloid Headline)

IR SOEKARNO, SATRIA DI KUBU KURAWA

Dalam epik Mahabarata disebutkan tentang seorang satria bernama Basukarna. Sebenarnya ia adalah anggota wangsa Barata. Anak Dewi Kunti, ibu para Pandawa. Tapi karena lahir dengan proses dan cara yang tidak wajar, Karna pun dibuang ke sungai oleh ibunya.
            Alkisah ia ditemukan oleh seorang kusir istana dan diasuh hingga tumbuh menjadi pemuda yang berbudi luhur, berperilaku santun dan gagah perkasa karena memiliki kemampuan perang serta kesaktian yang luar biasa.
            Sayang, statusnya sebagai anak rakyat jelata membuat Karna tak bisa menunjukkan kedigdayaannya dihadapan para satria dan raja. Untungnya, raja Hastinapura yang juga putra tertua kaum Kurawa, Duryudana mengetahui potensi besar Basukarna.
            Iapun diangkat sebagai raja di sebuah negara kecil jajahan Hastinapura. Dengan status barunya itu, kastanya pun terdongkrak ke ujung tertinggi. Begitu juga dengan tiap sendi kehidupannya yang lain.
            Hal itulah yang membuat Basukarna begitu hormat dan memberikan pengabdian tanpa batas pada Duryudana yang dianggapnya begitu berjasa terhadap hidupnya. Bahkan iapun rela dikorbankan saat diperintah melawan Arjuna, adik kandungnya yang dikenal memiliki kesaktian tanpa tanding dalam perang Baratayudha.
            Basukarna mati di medan perang lantaran membela harga diri junjungannya, Duryudana. Padahal Duryudana adalah simbol keangkaramurkaan di dunia saat itu. Dan nama Basukarna yang berbudi luhur itu terpaksa harus tercatat sebagai bagian dari kejahatan itu.
            Direktur PT SM 2002, Ir Soekarno bisa jadi adalah gambaran dari Basukarna di jaman modern, di sebuah tempat bernama tlatah Jenggala alias Kabupaten Sidoarjo. Ir Soekarno yang kini terpenjara karena dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam kasus penyimpangan di PT SM 2002.
            Banyak PNS maupun pejabat di lingkungan Pemkab Sidoarjo yang mengelus dada saat nama Ir Soekarno disebut-sebut oleh kejaksaan, apalagi ketika ia digelandang masuk ke dalam jeruji besi.
            Di mata mereka Soekarno adalah simbol kesederhanaan dan keteladanan seorang pejabat daerah. Karenanya mereka tak percaya begitu saja saat Soekarno dituding telah melakukan perbuatan korupsi.
Walaupun pernah menduduki posisi penting di birokrasi Sidoarjo, menjadi Kepala PU Cipta Karya di jaman bupati Sudjito dan kemudian melambung menjadi Kepala Bappekab saat Win Hendrarso sebagai bupati, namun ia tidak pernah merasakan kehidupan gemerlap ala pejabat.
Selama menjabat di Pemkab, pria bertubuh gempal dan berkumis putih ini tidak pernah sekalipun terlihat menggunakan mobil pribadi. Dia selalu mengendarai mobil plat merah.
“Kalau saja ia mau, saat  di PU Cipta Karya dan Bapekab Pak Karno bisa saja mendapatkan berbagai bentuk kemewahan,” ujar salah seorang PNS yang tak mau disebut namanya..
Kesederhaan sangat terlihat saat menduduki jabatan Kepala Bappekab menggantikan drs Nadhim Amir. Ruang kerja Nadhim di lantai dua kantor itu bagaikan kamar hotel bintang lima. Interiornya klasik, ada ruang istirahat dan ruang rapat.
Namun kamar kerja mewah ini tidak ditempati Soekarno. Dia memilih ruang kerja di lantai satu yang hanya dilengkapi sebuah meja tanpa kamar mandi di dalam ruangan. Saat itu Soekarno mengaku tidak betah berada di ruang kerja yang nyaman tersebut.
Lepas dari Bapekab, Win Hendrarso rupanya masih melihat kemampuan Soekarno. Saat memasuki usia pensiun itu, Ir Soekarno diperintah untuk menjalankan PT SM 2002 yang diimpikan Win Hendrarso.
Awalnya, Ir Soekarno datang ke kantor PT SM 2002 di kompleks perkantoran Pemkab Sidoarjo dengan mengendarai kendaraan umum dari rumahnya di Surabaya. Mobil dinas lamanya sudah ia kembalikan. Namun belakangan, ia dipinjami mobil Kijang tua.
Kini semua pengabdiannya telah berakhir. Namanya dicatat rakyat sebagai seorang koruptor meski pengadilan belum membuat keputusan atas kasus yang menyeretnya itu. Tapi opini publik sudah terlanjur menyebar.
Seorang kepala dinas yang tidak bersedia disebut namanya menggelengkan kepala dan merasa sesak mengetahui nasib yang dialami Soekarno. “Pak Karno itu orangnya tidak kemaruk. Diberi uang yang asal usulnya tidak jelas akan ditolak mentah-mentah. Satu rupiahpun dikembalikan kalau nggak jelas,” katanya.
Kalau begitu mungkinkah Soekarno dikorbankan?

(Termuat di Tabloid Tiras)

SAMPEK GREGETEN AKU

“Rasakno koen!!” tubuh berperawakan sedang itu terhuyung ke belakang saat sebuah pukulan menghantam pelipisnya. Darah pun deras mengalir. Tapi ia tetap berdiri dalam papahan seorang polisi.
Sudah tak terasa lagi perih atau sakit di tubuhnya. Bukan lantaran kebal. Tapi karena sudah terlalu banyak pukulan dan tendangan yang menghujam ke tubuhnya hingga tak bisa dibedakannya rasa sakit itu. Copet itu terdiam. Sekali-kali ia mengadu atau sekedar berujar mengiba.
Hanya sekitar selompatan jarak antara copet itu dengan mobil polisi yang telah menunggunya. Ia pun sudah berusaha berlindung di tubuh sang penegak hukum. Tapi tetap saja tendangan dan pukulan ia terima.
Bahkan hingga ia naik ke atas mobil pun, masih ada orang yang mencuri-curi kesempatan melayangkan bogem mentahnya. Dan mungkin sampai di kantor polisi pun, ia masih akan menjadi sansak hidup.
“Mangkakno, jadi orang itu jangan nanggung. Semua harus maksimal. Kalau mau baik, ya jadilah orang yang benar-benar baik. Jangan separo-separo,” ucap Pak Yik dalam obrolan di gardu Hansip, malam itu.
Topik pembicaraan malam itu dibuka dengan tayangan TV tentang tertangkapnya copet di salah satu pasar tradisional di Surabaya itu. “Sebaliknya. Kalau mau jadi bajingan, ya jadilah bajingan yang hebat sekalian,” timpa Lek Mun.
Ia teruskan omongannya. Katanya, kalau jadi bajingan ndek-ndek’an kayak copet tadi, akhirnya ya loro kabeh. Masih untung ia tidak sampai mati meski mukanya sudah bonyok semua kayak topeng rusak. Pun demikian dengan badannya pasti akan terasa memar yang sakitnya akan terus terasa hingga beberapa hari.
Sudah begitu, ia juga akan tetap dipenjara selama beberapa bulan. Padahal uang yang dijarahnya mungkin paling banter hanya ratusan ribu atau bahkan sekedar puluhan ribu saja. Sungguh tak sepadan dengan akibat yang harus ditanggungnya.
Banyak juga cerita tentang preman pasar, rampok atau maling yang meringis kesakitan setelah tubuhnya diterjang timah panas polisi. Bahkan tak jarang mereka sampai menemui ajal karenanya.
Aparat hukum kita memang terkenal garang dan tegas kalau menangani kasus maling dari kalangan kaum proletar seperti itu. Tanpa kompromi demi memberikan jaminan keamanan dan ketertiban pada masyarakat.
“Tapi cobak kalau nangani kasus bandar gede narkoba atau koruptor atau bajingan lain yang uangnya banyak. Pasti perlakuannya beda. Diperlakukan dengan baik, diistimewakan. Hukumannya pun juga enteng, padahal duit yang dicolong sampai ratusan juta bahkan miliaran,” imbuh Om Yudi.
Contoh yang paling gampang adalah para terpidana kasus korupsi DPRD Sidoarjo periode 1999 - 2004. Mereka tetap diberi keleluasaan untuk menghirup udara bebas meski putusan MA sudah turun. Nggak segera ditangkap dengan berbagai dalih.
Yang paling gres, mereka malah mengajukan penangguhan penahanan dengan alasan masih harus mengerjakan tugas negara yakni memproses pembuatan berbagai macam perda. Ah gombal. Uniknya, yang gitu-gitu itu malah ditanggapi sama kejaksaan.
“Sampek gregeten aku nek mbahas soal iku. Mestinya orang-orang seperti itu dibedil saja. Bayangno ae, mereka itu sudah dibayar mahal sama rakyat. Puluhan juta per bulan. Kerjanya juga sak karepe dewe. Mbolos terus yo gak ada sanksinya. Pokok’e sak enak’e lah. Lho ngono kok sik tego ngunthal duit’e rakyat,” Om Beki yang akhirnya ikut angkat omongan. Dari tadi dia diam saja sambil nithili’i singkong bakar.
“Lho sopo sing ngunthal pohong sak mene akehe. Aku kok gak kumanan blas,” Pak Yik protes. Semua kepala yang ada di gardu hansip itu menoleh ke arah Om Beki. Yang dipecicili cumak meringis. “Sori nda, luwe wetengku.”

(termuat di Tabloid Headline)

GAMPANG GOLEK UTANGAN

Seperti halnya pembagian dana BLT, Operasi Pasar beras, gula dan minyak goreng murah ataupun pembagian zakat menjelang Idul Fitri, pelaksanaan Tes CPNS juga selalu diserbu massa.
            Berbondong-bondong masyarakat mendatangi tempat pendaftaran hingga ke lokasi ujian. Begitu juga saat mereka melihat hasil pengumuman hasil tes yang mereka lakoni sebelumnya.
            Sebongkah harapan digantungkan untuk bisa meraih pekerjaan sebagai pamong praja itu. Bahkan berbagai cara dilakukan agar tujuan itu teraih. Mulai dari yang halal sampai yang terlarang pun nekad diterobos juga.
            Ada yang berusaha mencari bocoran soal atau bahkan kunci jawaban tes itu dengan cara menyuap. Ada juga yang mencoba ‘menitipkan’ peserta tes pada oknum pejabat yang dianggap punya kekuasaan untuk menentukan lulusan. Atau setidaknya pada orang-orang tertentu yang dianggap punya akses langsung pada sang pejabat yang dimaksud.
            Tentu saja, tidak ada yang gratis. Seperti halnya jargon Pemprop Jatim, Jer Basuki Mawa Bea, untuk menggapai tujuan itu tentu saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
            Seorang ibu pernah ngomong padaku tentang anaknya yang berniat dimasukkan sebagai Calon PNS. “Wistalah Pak, berapapun akan saya bayar asal anakku ini bisa jadi Pegawai Negeri. Nek perlu tak golekno utangan kalau uang saya yang ada ini gak nutut,” katanya.
            Lalu kutanya, kenapa sih harus begitu ngoyo jadi pegawai negeri. Toh pengabdian pada bangsa bisa dilakukan lewat profesi dan pekerjaan yang lain, asal dilakukan dengan benar dan ihklas.
            Lalu si ibu itu menjawab. “Walah pak, gak usah ngomong soal pengabdian. Kemelipen. Sekarang ini asalkan bisa dapat pekerjaan saja sudah Alhamdullilah. Apalagi kalau jadi Pegawai Negeri, pasti hidup anak saya ini akan enak nantinya,” omongnya.
            Dia bilang, PNS itu kerjanya enteng, bisa disambi. Menurutnya seorang PNS itu juga tidak perlu terlalu pinter, yang penting selalu manut pada perintah atasan, dijamin kariernya pasti akan lancar.
Sudah gitu gajinya juga lumayan besar dan pasti naik terus setiap tahunnya. Belum lagi dengan berbagai tunjangan dan insentif. Apalagi kalau nantinya bisa memegang jabatan tertentu, pasti akan lebih makmur lagi.
            “Enaknya lagi, pensiunnya itu. Sudah nggak kerja tapi tetap dapat bayaran rutin setiap bulannya. Kalau kerja di swasta khan nggak bisa begitu. Harus kerja keras sampai tua kalau mau hidup enak,” tambahnya.
            Omongan itu sempat kujadikan bahan obrolan dengan beberapa PNS yang jadi teman cangkrukku sehari-hari. Mereka bilang, pendapat ibu tak semuanya benar, tapi juga tidak salah sama sekali.
            “Tapi sing paling enak, PNS itu selalu punya peluang untuk korupsi sesuai tingkatannya masing-masing. Kalau yang punya jabatan, ya bisa korupsi uang. Tapi PNS ndek-ndekan kayak aku ini paling-paling cumak bisa korupsi waktu,” kata temanku yang mewanti-wanti jati dirinya disimpan rapat-rapat jika ceritanya itu kujadikan bahan tulisan di koran.
            Caranya, cari utangan dulu sebanyak-banyaknya. SK pengangkatan digadaikan. Terus ya bisa utang ke koperasi. Cicilan pasti lancar karena potong gaji. Soal kebutuhan hidup sehari-hari, bisa cari ceperan dari sumber lain. Misalnya makelaran mobil, calo pengurusan STNK atau surat-surat ijin usaha seperti HO, SIUP dan sebagainya. 
Lantaran itulah, menurutnya wajar jika masyarakat berlomba-lomba ingin jadi pegawai negeri. Termasuk para pejabat pemerintah yang juga ngotot menjadikan anak, mantu dan ponakannya PNS.
            “Pejabat juga manusia yang ingin anak cucunya hidup makmur. Apalagi mereka juga sudah merasakan enaknya jadi PNS. Jadi siapa yang nggak mau jadi PNS. Pean gak kepingin ta Cak”.

(termuat di Tabloid Headline)

NYOLONG YA NYOLONG, TAPI JANGAN RASKIN DONG

Mata seniman, teman ngobrolku saat itu, langsung melotot. Rupanya ia tak terima ketika aku menyebut kata ‘budaya korupsi’ dalam pembicaraan kami yang sudah berlangsung hampir satu jam itu.
            “Jangan pernah bilang korupsi sebagai budaya. Sejak awal adanya komunitas manusia yang mendiami tanah negeri ini, tak pernah tercipta sebuah budaya yang namanya korupsi. Salah kaprah itu,” nada bicaranya kian meninggi.
            Bukannya melunak, aku justru tambah semangat. Kupancing-pancing dia agar semakin marah hingga ia pun kian mengumbar semua pendapat dan argumennya soal korupsi dan budaya tadi.
Kulihat bungkus rokok di meja kayu itu sudah hampir habis. Tinggal sebatang yang itupun langsung diambilnya, dibakar ujungnya, dihisap asapnya dari ujung lainnya lalu dihembuskan ke udara. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku bajuku. Kutaruh di meja untuk membangkitkan semangatnya agar mau bicara lebih lama lagi.
Berikutnya, ia pun berusaha membetulkan penggunaan kata yang kupakai tadi. Menurutnya korupsi bukanlah produk budaya. Tapi hanya sebuah perbuatan negatif yang dilakukan oleh segelintir orang. Jadi nggak bisa digeneralisasikan sebagai milik seluruh unsur masyarakat Indonesia.
“Persoalannya, yang namanya korupsi itu sudah kadung menjadi kebiasaan yang mengakar, terstruktur dan tersistem dengan baik. Tak mudah memperbaikinya karena melibatkan semua unsur dari hulu hingga hilir,” bantahku.
Tapi itulah temanku, sang seniman tadi. Pantang baginya untuk kalah, apalagi dalam soal silat lidah semacam ini. Debat kusir pun tak masalah karena tujuannya memang hanya omong-omongan semata. Tak perlu mencari superioritas.
“Ora iso. Yo panggah salah,” dalam bahasa ibunya, ia tetap ngotot dengan pendapatnya. “Budaya itu selalu menghasilkan produk-produk yang positif. Kalau yang uelek-uelek seperti korupsi itu, bukan budaya namanya. Mbuh opo jenenge. Bingung leh ku ngarani,” lucu memang di telinga. Tapi aku senang mendengarnya.
Berikutnya, tanpa ada pancingan pertanyaan pun ia langsung nyerocos sendiri. Bicara ngalor-ngidul. Aku seperti kembali ke masa kuliahku dulu waktu menerima pelajaran tentang ilmu budaya dasar atau antropologi.
“Tapi yo pancen angel memposisikan korupsi iku dalam kategori apa di tengah kehidupan masyarakat kita. Pancen parah sampai-sampai kita disebut sebagai bangsa koruptor nomer 4 di seluruh dunia. Mantan Presiden pun bahkan dituding sebagai koruptor kelas wahid sejagad,” sebentar kemudian ia mulai terdiam.
Ia bilang, sekarang ini semua yang ada bisa dikorupsi. Minimal korupsi waktu. Bagi yang punya kedudukan di jajaran penguasa malah punya kesempatan besar untuk korupsi uang rakyat dari berbagai pos pembelanjaan yang dianggarkan.
“Bahkan bisa juga korupsi beras,” sambungku. Tanpa dinyana ia langsung berdiri. Sarungnya digulung hingga sebatas lutut. “Yen iku yo kebacut!. Opo ora ono barang liyane maneh. Mosok jatah’e wong kere kok sik tego ngentit,” dengan memendam amarah, ia buru-buru berlalu dari hadapanku.
Kali ini ganti aku yang menyesali ucapanku. “Wah gara-gara beras, buyar lakone,” sesalku berkepanjangan.
(Termuat di Tabloid Headline)