Jumat, 21 Februari 2014

SAMPEK GREGETEN AKU

“Rasakno koen!!” tubuh berperawakan sedang itu terhuyung ke belakang saat sebuah pukulan menghantam pelipisnya. Darah pun deras mengalir. Tapi ia tetap berdiri dalam papahan seorang polisi.
Sudah tak terasa lagi perih atau sakit di tubuhnya. Bukan lantaran kebal. Tapi karena sudah terlalu banyak pukulan dan tendangan yang menghujam ke tubuhnya hingga tak bisa dibedakannya rasa sakit itu. Copet itu terdiam. Sekali-kali ia mengadu atau sekedar berujar mengiba.
Hanya sekitar selompatan jarak antara copet itu dengan mobil polisi yang telah menunggunya. Ia pun sudah berusaha berlindung di tubuh sang penegak hukum. Tapi tetap saja tendangan dan pukulan ia terima.
Bahkan hingga ia naik ke atas mobil pun, masih ada orang yang mencuri-curi kesempatan melayangkan bogem mentahnya. Dan mungkin sampai di kantor polisi pun, ia masih akan menjadi sansak hidup.
“Mangkakno, jadi orang itu jangan nanggung. Semua harus maksimal. Kalau mau baik, ya jadilah orang yang benar-benar baik. Jangan separo-separo,” ucap Pak Yik dalam obrolan di gardu Hansip, malam itu.
Topik pembicaraan malam itu dibuka dengan tayangan TV tentang tertangkapnya copet di salah satu pasar tradisional di Surabaya itu. “Sebaliknya. Kalau mau jadi bajingan, ya jadilah bajingan yang hebat sekalian,” timpa Lek Mun.
Ia teruskan omongannya. Katanya, kalau jadi bajingan ndek-ndek’an kayak copet tadi, akhirnya ya loro kabeh. Masih untung ia tidak sampai mati meski mukanya sudah bonyok semua kayak topeng rusak. Pun demikian dengan badannya pasti akan terasa memar yang sakitnya akan terus terasa hingga beberapa hari.
Sudah begitu, ia juga akan tetap dipenjara selama beberapa bulan. Padahal uang yang dijarahnya mungkin paling banter hanya ratusan ribu atau bahkan sekedar puluhan ribu saja. Sungguh tak sepadan dengan akibat yang harus ditanggungnya.
Banyak juga cerita tentang preman pasar, rampok atau maling yang meringis kesakitan setelah tubuhnya diterjang timah panas polisi. Bahkan tak jarang mereka sampai menemui ajal karenanya.
Aparat hukum kita memang terkenal garang dan tegas kalau menangani kasus maling dari kalangan kaum proletar seperti itu. Tanpa kompromi demi memberikan jaminan keamanan dan ketertiban pada masyarakat.
“Tapi cobak kalau nangani kasus bandar gede narkoba atau koruptor atau bajingan lain yang uangnya banyak. Pasti perlakuannya beda. Diperlakukan dengan baik, diistimewakan. Hukumannya pun juga enteng, padahal duit yang dicolong sampai ratusan juta bahkan miliaran,” imbuh Om Yudi.
Contoh yang paling gampang adalah para terpidana kasus korupsi DPRD Sidoarjo periode 1999 - 2004. Mereka tetap diberi keleluasaan untuk menghirup udara bebas meski putusan MA sudah turun. Nggak segera ditangkap dengan berbagai dalih.
Yang paling gres, mereka malah mengajukan penangguhan penahanan dengan alasan masih harus mengerjakan tugas negara yakni memproses pembuatan berbagai macam perda. Ah gombal. Uniknya, yang gitu-gitu itu malah ditanggapi sama kejaksaan.
“Sampek gregeten aku nek mbahas soal iku. Mestinya orang-orang seperti itu dibedil saja. Bayangno ae, mereka itu sudah dibayar mahal sama rakyat. Puluhan juta per bulan. Kerjanya juga sak karepe dewe. Mbolos terus yo gak ada sanksinya. Pokok’e sak enak’e lah. Lho ngono kok sik tego ngunthal duit’e rakyat,” Om Beki yang akhirnya ikut angkat omongan. Dari tadi dia diam saja sambil nithili’i singkong bakar.
“Lho sopo sing ngunthal pohong sak mene akehe. Aku kok gak kumanan blas,” Pak Yik protes. Semua kepala yang ada di gardu hansip itu menoleh ke arah Om Beki. Yang dipecicili cumak meringis. “Sori nda, luwe wetengku.”

(termuat di Tabloid Headline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar