“Rasakno koen!!”
tubuh berperawakan sedang itu terhuyung ke belakang saat sebuah pukulan
menghantam pelipisnya. Darah pun deras mengalir. Tapi ia tetap berdiri dalam
papahan seorang polisi.
Sudah tak terasa lagi perih atau sakit di tubuhnya. Bukan lantaran kebal.
Tapi karena sudah terlalu banyak pukulan dan tendangan yang menghujam ke
tubuhnya hingga tak bisa dibedakannya rasa sakit itu. Copet itu terdiam.
Sekali-kali ia mengadu atau sekedar berujar mengiba.
Hanya sekitar selompatan jarak antara copet itu dengan mobil polisi yang
telah menunggunya. Ia pun sudah berusaha berlindung di tubuh sang penegak
hukum. Tapi tetap saja tendangan dan pukulan ia terima.
Bahkan hingga ia naik ke atas mobil pun, masih ada orang yang mencuri-curi
kesempatan melayangkan bogem mentahnya. Dan mungkin sampai di kantor polisi
pun, ia masih akan menjadi sansak hidup.
“Mangkakno, jadi orang itu jangan nanggung. Semua harus maksimal. Kalau mau
baik, ya jadilah orang yang benar-benar baik. Jangan separo-separo,” ucap Pak
Yik dalam obrolan di gardu Hansip, malam itu.
Topik pembicaraan malam itu dibuka dengan tayangan TV tentang tertangkapnya
copet di salah satu pasar tradisional di Surabaya itu. “Sebaliknya. Kalau mau
jadi bajingan, ya jadilah bajingan yang hebat sekalian,” timpa Lek Mun.
Ia teruskan omongannya. Katanya, kalau jadi bajingan ndek-ndek’an kayak
copet tadi, akhirnya ya loro kabeh. Masih untung ia tidak sampai mati meski
mukanya sudah bonyok semua kayak topeng rusak. Pun demikian dengan badannya
pasti akan terasa memar yang sakitnya akan terus terasa hingga beberapa hari.
Sudah begitu, ia juga akan tetap dipenjara selama beberapa bulan. Padahal
uang yang dijarahnya mungkin paling banter hanya ratusan ribu atau bahkan
sekedar puluhan ribu saja. Sungguh tak sepadan dengan akibat yang harus
ditanggungnya.
Banyak juga cerita tentang preman pasar, rampok atau maling yang meringis
kesakitan setelah tubuhnya diterjang timah panas polisi. Bahkan tak jarang
mereka sampai menemui ajal karenanya.
Aparat hukum kita memang terkenal garang dan tegas kalau menangani kasus
maling dari kalangan kaum proletar seperti itu. Tanpa kompromi demi memberikan jaminan
keamanan dan ketertiban pada masyarakat.
“Tapi cobak kalau nangani kasus bandar gede narkoba atau koruptor atau
bajingan lain yang uangnya banyak. Pasti perlakuannya beda. Diperlakukan dengan
baik, diistimewakan. Hukumannya pun juga enteng, padahal duit yang dicolong
sampai ratusan juta bahkan miliaran,” imbuh Om Yudi.
Contoh yang paling gampang adalah para terpidana kasus korupsi DPRD
Sidoarjo periode 1999 - 2004. Mereka tetap diberi keleluasaan untuk menghirup
udara bebas meski putusan MA sudah turun. Nggak segera ditangkap dengan
berbagai dalih.
Yang paling gres, mereka malah mengajukan penangguhan penahanan dengan
alasan masih harus mengerjakan tugas negara yakni memproses pembuatan berbagai
macam perda. Ah gombal. Uniknya, yang gitu-gitu itu malah ditanggapi sama
kejaksaan.
“Sampek gregeten aku nek mbahas soal iku. Mestinya orang-orang seperti itu
dibedil saja. Bayangno ae, mereka itu sudah dibayar mahal sama rakyat. Puluhan
juta per bulan. Kerjanya juga sak karepe dewe. Mbolos terus yo gak ada sanksinya.
Pokok’e sak enak’e lah. Lho ngono kok sik tego ngunthal duit’e rakyat,” Om Beki
yang akhirnya ikut angkat omongan. Dari tadi dia diam saja sambil nithili’i
singkong bakar.
“Lho sopo sing ngunthal pohong sak mene akehe. Aku kok gak kumanan blas,”
Pak Yik protes. Semua kepala yang ada di gardu hansip itu menoleh ke arah Om
Beki. Yang dipecicili cumak meringis. “Sori nda, luwe wetengku.”
(termuat di
Tabloid Headline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar