Seperti halnya
pembagian dana BLT, Operasi Pasar beras, gula dan minyak goreng murah ataupun
pembagian zakat menjelang Idul Fitri, pelaksanaan Tes CPNS juga selalu diserbu
massa.
Berbondong-bondong masyarakat
mendatangi tempat pendaftaran hingga ke lokasi ujian. Begitu juga saat mereka
melihat hasil pengumuman hasil tes yang mereka lakoni sebelumnya.
Sebongkah harapan digantungkan untuk
bisa meraih pekerjaan sebagai pamong praja itu. Bahkan berbagai cara dilakukan
agar tujuan itu teraih. Mulai dari yang halal sampai yang terlarang pun nekad
diterobos juga.
Ada yang berusaha mencari bocoran
soal atau bahkan kunci jawaban tes itu dengan cara menyuap. Ada juga yang
mencoba ‘menitipkan’ peserta tes pada oknum pejabat yang dianggap punya
kekuasaan untuk menentukan lulusan. Atau setidaknya pada orang-orang tertentu
yang dianggap punya akses langsung pada sang pejabat yang dimaksud.
Tentu saja, tidak ada yang gratis.
Seperti halnya jargon Pemprop Jatim, Jer Basuki Mawa Bea, untuk menggapai
tujuan itu tentu saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Seorang ibu pernah ngomong padaku
tentang anaknya yang berniat dimasukkan sebagai Calon PNS. “Wistalah Pak,
berapapun akan saya bayar asal anakku ini bisa jadi Pegawai Negeri. Nek perlu
tak golekno utangan kalau uang saya yang ada ini gak nutut,” katanya.
Lalu kutanya, kenapa sih harus
begitu ngoyo jadi pegawai negeri. Toh pengabdian pada bangsa bisa dilakukan
lewat profesi dan pekerjaan yang lain, asal dilakukan dengan benar dan ihklas.
Lalu si ibu itu menjawab. “Walah pak,
gak usah ngomong soal pengabdian. Kemelipen. Sekarang ini asalkan bisa dapat
pekerjaan saja sudah Alhamdullilah. Apalagi kalau jadi Pegawai Negeri, pasti
hidup anak saya ini akan enak nantinya,” omongnya.
Dia bilang, PNS itu kerjanya enteng,
bisa disambi. Menurutnya seorang PNS itu juga tidak perlu terlalu pinter, yang
penting selalu manut pada perintah atasan, dijamin kariernya pasti akan lancar.
Sudah gitu gajinya juga lumayan besar dan pasti naik terus setiap tahunnya.
Belum lagi dengan berbagai tunjangan dan insentif. Apalagi kalau nantinya bisa
memegang jabatan tertentu, pasti akan lebih makmur lagi.
“Enaknya lagi, pensiunnya itu. Sudah
nggak kerja tapi tetap dapat bayaran rutin setiap bulannya. Kalau kerja di
swasta khan nggak bisa begitu. Harus kerja keras sampai tua kalau mau hidup
enak,” tambahnya.
Omongan itu sempat kujadikan bahan
obrolan dengan beberapa PNS yang jadi teman cangkrukku sehari-hari. Mereka
bilang, pendapat ibu tak semuanya benar, tapi juga tidak salah sama sekali.
“Tapi sing paling enak, PNS itu selalu
punya peluang untuk korupsi sesuai tingkatannya masing-masing. Kalau yang punya
jabatan, ya bisa korupsi uang. Tapi PNS ndek-ndekan kayak aku ini paling-paling
cumak bisa korupsi waktu,” kata temanku yang mewanti-wanti jati dirinya
disimpan rapat-rapat jika ceritanya itu kujadikan bahan tulisan di koran.
Caranya, cari utangan dulu
sebanyak-banyaknya. SK pengangkatan digadaikan. Terus ya bisa utang ke
koperasi. Cicilan pasti lancar karena potong gaji. Soal kebutuhan hidup sehari-hari,
bisa cari ceperan dari sumber lain. Misalnya makelaran mobil, calo pengurusan
STNK atau surat-surat ijin usaha seperti HO, SIUP dan sebagainya.
Lantaran itulah, menurutnya wajar jika masyarakat berlomba-lomba ingin jadi
pegawai negeri. Termasuk para pejabat pemerintah yang juga ngotot menjadikan
anak, mantu dan ponakannya PNS.
“Pejabat juga manusia yang ingin
anak cucunya hidup makmur. Apalagi mereka juga sudah merasakan enaknya jadi
PNS. Jadi siapa yang nggak mau jadi PNS. Pean gak kepingin ta Cak”.
(termuat di
Tabloid Headline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar