Mata seniman,
teman ngobrolku saat itu, langsung melotot. Rupanya ia tak terima ketika aku
menyebut kata ‘budaya korupsi’ dalam pembicaraan kami yang sudah berlangsung
hampir satu jam itu.
“Jangan pernah bilang korupsi
sebagai budaya. Sejak awal adanya komunitas manusia yang mendiami tanah negeri
ini, tak pernah tercipta sebuah budaya yang namanya korupsi. Salah kaprah itu,”
nada bicaranya kian meninggi.
Bukannya melunak, aku justru tambah
semangat. Kupancing-pancing dia agar semakin marah hingga ia pun kian mengumbar
semua pendapat dan argumennya soal korupsi dan budaya tadi.
Kulihat bungkus rokok di meja kayu itu sudah hampir habis. Tinggal sebatang
yang itupun langsung diambilnya, dibakar ujungnya, dihisap asapnya dari ujung
lainnya lalu dihembuskan ke udara. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku bajuku.
Kutaruh di meja untuk membangkitkan semangatnya agar mau bicara lebih lama
lagi.
Berikutnya, ia pun berusaha membetulkan penggunaan kata yang kupakai tadi.
Menurutnya korupsi bukanlah produk budaya. Tapi hanya sebuah perbuatan negatif
yang dilakukan oleh segelintir orang. Jadi nggak bisa digeneralisasikan sebagai
milik seluruh unsur masyarakat Indonesia.
“Persoalannya, yang namanya korupsi itu sudah kadung menjadi kebiasaan yang
mengakar, terstruktur dan tersistem dengan baik. Tak mudah memperbaikinya
karena melibatkan semua unsur dari hulu hingga hilir,” bantahku.
Tapi itulah temanku, sang seniman tadi. Pantang baginya untuk kalah,
apalagi dalam soal silat lidah semacam ini. Debat kusir pun tak masalah karena
tujuannya memang hanya omong-omongan semata. Tak perlu mencari superioritas.
“Ora iso. Yo panggah salah,” dalam bahasa ibunya, ia tetap ngotot dengan
pendapatnya. “Budaya itu selalu menghasilkan produk-produk yang positif. Kalau
yang uelek-uelek seperti korupsi itu, bukan budaya namanya. Mbuh opo jenenge.
Bingung leh ku ngarani,” lucu memang di telinga. Tapi aku senang mendengarnya.
Berikutnya, tanpa ada pancingan pertanyaan pun ia langsung nyerocos
sendiri. Bicara ngalor-ngidul. Aku seperti kembali ke masa kuliahku dulu waktu
menerima pelajaran tentang ilmu budaya dasar atau antropologi.
“Tapi yo pancen angel memposisikan korupsi iku dalam kategori apa di tengah
kehidupan masyarakat kita. Pancen parah sampai-sampai kita disebut sebagai
bangsa koruptor nomer 4 di seluruh dunia. Mantan Presiden pun bahkan dituding
sebagai koruptor kelas wahid sejagad,” sebentar kemudian ia mulai terdiam.
Ia bilang, sekarang ini semua yang ada bisa dikorupsi. Minimal korupsi waktu.
Bagi yang punya kedudukan di jajaran penguasa malah punya kesempatan besar
untuk korupsi uang rakyat dari berbagai pos pembelanjaan yang dianggarkan.
“Bahkan bisa juga korupsi beras,” sambungku. Tanpa dinyana ia langsung
berdiri. Sarungnya digulung hingga sebatas lutut. “Yen iku yo kebacut!. Opo ora
ono barang liyane maneh. Mosok jatah’e wong kere kok sik tego ngentit,” dengan
memendam amarah, ia buru-buru berlalu dari hadapanku.
Kali ini ganti aku yang menyesali ucapanku. “Wah gara-gara beras, buyar lakone,”
sesalku berkepanjangan.
(Termuat di Tabloid Headline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar