Jumat, 21 Februari 2014

NYOLONG YA NYOLONG, TAPI JANGAN RASKIN DONG

Mata seniman, teman ngobrolku saat itu, langsung melotot. Rupanya ia tak terima ketika aku menyebut kata ‘budaya korupsi’ dalam pembicaraan kami yang sudah berlangsung hampir satu jam itu.
            “Jangan pernah bilang korupsi sebagai budaya. Sejak awal adanya komunitas manusia yang mendiami tanah negeri ini, tak pernah tercipta sebuah budaya yang namanya korupsi. Salah kaprah itu,” nada bicaranya kian meninggi.
            Bukannya melunak, aku justru tambah semangat. Kupancing-pancing dia agar semakin marah hingga ia pun kian mengumbar semua pendapat dan argumennya soal korupsi dan budaya tadi.
Kulihat bungkus rokok di meja kayu itu sudah hampir habis. Tinggal sebatang yang itupun langsung diambilnya, dibakar ujungnya, dihisap asapnya dari ujung lainnya lalu dihembuskan ke udara. Kukeluarkan bungkus rokok dari saku bajuku. Kutaruh di meja untuk membangkitkan semangatnya agar mau bicara lebih lama lagi.
Berikutnya, ia pun berusaha membetulkan penggunaan kata yang kupakai tadi. Menurutnya korupsi bukanlah produk budaya. Tapi hanya sebuah perbuatan negatif yang dilakukan oleh segelintir orang. Jadi nggak bisa digeneralisasikan sebagai milik seluruh unsur masyarakat Indonesia.
“Persoalannya, yang namanya korupsi itu sudah kadung menjadi kebiasaan yang mengakar, terstruktur dan tersistem dengan baik. Tak mudah memperbaikinya karena melibatkan semua unsur dari hulu hingga hilir,” bantahku.
Tapi itulah temanku, sang seniman tadi. Pantang baginya untuk kalah, apalagi dalam soal silat lidah semacam ini. Debat kusir pun tak masalah karena tujuannya memang hanya omong-omongan semata. Tak perlu mencari superioritas.
“Ora iso. Yo panggah salah,” dalam bahasa ibunya, ia tetap ngotot dengan pendapatnya. “Budaya itu selalu menghasilkan produk-produk yang positif. Kalau yang uelek-uelek seperti korupsi itu, bukan budaya namanya. Mbuh opo jenenge. Bingung leh ku ngarani,” lucu memang di telinga. Tapi aku senang mendengarnya.
Berikutnya, tanpa ada pancingan pertanyaan pun ia langsung nyerocos sendiri. Bicara ngalor-ngidul. Aku seperti kembali ke masa kuliahku dulu waktu menerima pelajaran tentang ilmu budaya dasar atau antropologi.
“Tapi yo pancen angel memposisikan korupsi iku dalam kategori apa di tengah kehidupan masyarakat kita. Pancen parah sampai-sampai kita disebut sebagai bangsa koruptor nomer 4 di seluruh dunia. Mantan Presiden pun bahkan dituding sebagai koruptor kelas wahid sejagad,” sebentar kemudian ia mulai terdiam.
Ia bilang, sekarang ini semua yang ada bisa dikorupsi. Minimal korupsi waktu. Bagi yang punya kedudukan di jajaran penguasa malah punya kesempatan besar untuk korupsi uang rakyat dari berbagai pos pembelanjaan yang dianggarkan.
“Bahkan bisa juga korupsi beras,” sambungku. Tanpa dinyana ia langsung berdiri. Sarungnya digulung hingga sebatas lutut. “Yen iku yo kebacut!. Opo ora ono barang liyane maneh. Mosok jatah’e wong kere kok sik tego ngentit,” dengan memendam amarah, ia buru-buru berlalu dari hadapanku.
Kali ini ganti aku yang menyesali ucapanku. “Wah gara-gara beras, buyar lakone,” sesalku berkepanjangan.
(Termuat di Tabloid Headline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar